Apakah
kamu Bicara dengan Diri Sendiri??
Manusia selalu berbicara kepada dan atau dengan
dirinya sendiri. Dan berpikir itu sesungguhnya berbicara kepada diri sendiri
dalam batin. Bagaimana bila sering bicara kepada diri sendiri dengan suara
keras??
,,Suatu saat seorang
perempuan pernah curhat: ”Sejak semester awal sampai sekarang, ada beberapa
keganjilan yang sering saya alami, salah satunya berbicara sendiri dan
”mengigau”. Kebiasaan berbicara sendiri sering sekali saya lakukan dan saya
selalu mempraktikkan apa yang ada di pikiran secara langsung (tindakan). Dan
itu membuat beberapa teman takut melihat apa yang saya lakukan. Padahal, saya
sudah berusaha untuk mengurangi kebiasaan buruk tersebut, tetapi tetap saja
sulit untuk tidak melakukannya”.
,,“Akhirnya saya membaca referensi mengenai keadaan
psikologis saya, di dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa seseorang yang
sering mengalami akonsius (kebiasaan berbicara sendiri), lama-kelamaan bisa
menjadi gila. Apakah benar pernyataan tersebut dan bagaimana cara saya agar
bisa mengurangi kebiasaan buruk saya?”
Refleksi emosi
Sebenarnya selama otak masih aktif bekerja, kita
selalu berbicara dengan diri sendiri, umumnya dalam batin, tidak disuarakan.
Ketika kita menimbang pilihan, menenangkan diri waktu terkejut atau marah, atau
berdoa, kita berbicara dengan diri sendiri.
Sesekali kita berbicara bersuara, ketika
menghayati kondisi emosi intens, misalnya saat tiba-tiba menemukan solusi yang
ditunggu-tunggu, saat marah. Saat teringat seseorang yang sangat dirindukan,
mungkin kita ingin merealisasikan harapan akan kebersamaan dengan membayangkan
ia ada dan mengajaknya berbicara. Saat intens berpikir kita kadang bicara
bersuara, dan mungkin jadi lebih jelas mengenai alternatif penyelesaiannya.
Berbicara dengan suara keras ke diri sendiri
jarang dilakukan. Mungkin lebih sering terjadi ketika kita tertekan, tegang,
kacau, singkatnya berpikiran penuh, seperti ada pergolakan di batin yang
menuntut untuk dikeluarkan. Bayangkan panci berisi air mendidih yang tutupnya
bergerak-gerak kencang, bahkan mungkin dapat terlempar karena tekanan kuat dari
bawah. Jelas di sini, bicara menjadi cara penyaluran emosi.
Jadi, berbicara kepada diri sendiri bisa
merupakan hal sangat normal, dapat pula merefleksikan persoalan psikologis yang
memerlukan perhatian serius. Kita sendiri yang dapat menetapkan, apakah yang
terjadi pada kita merupakan hal wajar saja, atau sudah berlebihan sehingga
mengindikasikan kekacauan batin yang memerlukan bantuan ahli untuk mengatasi?
Ketika dalam keadaan sangat tertekan dan tegang,
percakapan batin mungkin keluar dalam bentuk bicara sendiri, yang bila
berlebihan akan membuat takut diri sendiri dan orang lain. Bila itu halnya,
kita perlu menenangkan diri, merenung (mungkin dengan bantuan orang lain juga)
untuk lebih mengerti sumber ketegangan dan kekacauan pikiran kita. Menenangkan
diri dapat dilakukan, misalnya, dengan cara olah napas, meditasi, dan
mengembangkan visualisasi yang menenangkan batin.
Sejauh pengetahuan saya, tidak ada istilah
akonsius dalam psikologi. Sayang informasi dari perempuan tsb kurang lengkap.
Apakah kebiasaan muncul setelah kuliah dan sebelumnya sama sekali tidak pernah
terjadi? Ingatkah mulai muncul kapan dan adakah pencetusnya? Pada saat-saat apa
saja lebih banyak bicara pada diri sendiri? Tentang apa? Apa yang dimaksud
dengan ”mempraktikkan yang ada di pikiran secara langsung dalam tindakan?”
Sejauh mana kebiasaan ini mengganggu orang lain? Sejauh mana mengganggu diri
sendiri?
Positif
Aktivitas itu akan menjadi gangguan psikologis
bila manusia bicara sendiri sebagai respons terhadap halusinasi atau delusi.
Halusinasi adalah gangguan persepsi dalam bentuk (merasa) melihat atau
mendengar tanpa ada rangsang nyata, misalnya kita mendengar suara-suara
berisik, orang menertawakan orang lain, atau melihat figur tertentu yang orang
lain tidak mendengar atau melihatnya.
Delusi secara sederhana dapat diartikan sebagai
adanya keyakinan kuat tentang suatu hal akibat penilaian realitas yang salah.
Misalnya kita yakin sedang dikejar-kejar seseorang dan akan disakiti, atau
sebaliknya, ada seseorang sangat berpengaruh, yang sebenarnya tidak mengenal
kita, menyatakan “mengagumi keahlian kita”. Bila demikian halnya, kita harus
meminta bantuan psikolog klinis dan psikiater untuk memfasilitasi penenangan
batin dan pengobatan.
Bila kita menilai diri atau dunia secara
negatif, kita akan bicara dalam bahasa atau kalimat negatif: ”aku selalu
gagal”, ”aku tidak dicintai” atau ”dunia ini buruk”, ”tidak ada yang bisa
diharapkan lagi”, ”yang jahat harus dibasmi”. Sementara itu, penilaian diri
positif akan mengembangkan percakapan diri yang juga positif.
Karena sebenarnya manusia selalu bicara dengan
dan kepada diri sendiri, kita perlu mengolah fenomena ini secara konstruktif
demi kesejahteraan psikologis kita. Penanganan psikologi cukup sering
menganjurkan kita mengembangkan self-talk yang positif untuk mengubah pikiran
negatif, memotivasi diri, mengembangkan gambaran diri atau dunia yang lebih
baik, mendorong gerak konstruktif melakukan sesuatu. Self-talk positif menjadi
bentuk afirmasi, kalimat berulang yang kita sampaikan kepada diri sendiri untuk
menguatkan diri.
Kita mengubah dari negatif menjadi positif,
misalnya dari ”aku selalu gagal” menjadi ”aku sedang menyelesaikan tugasku
secara bertahap”; dari ”aku tidak dicintai” menjadi ”aku menyayangi diriku sendiri
dan sedang membuat diriku menjadi lebih baik”; dari ”dunia ini buruk” menjadi
”memang banyak sekali masalah sekarang ini tapi aku masih bisa melakukan
hal-hal positif di lingkungan terdekatku sendiri”.
Ada
hubungan saling memengaruhi antara pikiran, perasaan dan perilaku, dan kita
dapat memulai dari mana saja untuk mengembangkan kondisi diri yang lebih
positif. Bicara secara positif kepada diri sendiri menjadi salah satu cara
untuk membuat diri menjadi lebih bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar