Rabu, 29 Oktober 2014

Model Konseling Rational-Emotive Therapy (RET)



VI. RATIONAL-EMOTIVE THERAPY
Albert Ellis

1.      Latar Belakang Sejarah
ALBERT ELLIS (lahir 1913) lahir di Pittsburgh tetapi melarikan diri ke belantara New York pada usia 4 tahun dan selanjutnya tinggal di sana (kecuali setahun ketika ia tinggal di New Jersey) sejak itu. Pada masa kanak-kanak ia sembilan kali dirawat di rumah sakit, sebagian besar karena gangguan nephtitis, dan kemudian berkembang menjadi renal glycosuria pada usia 19 tahun dan diabetes pada usia 40 tahun. Tetapi dengan ketangguhannya memelihara kesehatannya dan tidak mau meratapi akan keadaan kesehatannya yang buruk itu dia bisa menikmati kehidupan yang penuh energi.
Karena menyadari akan ketrampilannya memberikan konsultasi kepada orang banyak, dan juga merasakan betapa ia menikmatinya maka iapun bertekad untuk menjadi psikolog. Delapan tahun setelah kelulusannya  daro College dia masuk matrikulasi program psikologi klinis di Teachers College, Columbia. Dia memulai prakteknya dalam bidang perkawinan, keluarga, dan terapi seks. Karena percaya bahwa psikoanalisis adalah bentuk terapi yang paling dalam maka Elis dianalisis dan disupervisi oleh aliran Karen Horney. Dari tahun 1947 sampai 1953 dia mempraktekkan analisis klasik dan psikoterapi yang berorientasi pada analisis.
Setelah dia sampai pada kesimpulan bahwa psikoanalisis itu secara relatif merupakan bentuk penanganan yang semu dan tidak ilmiah maka diapun bereksperimen dengan beberapa sistem yang lain. Pada awal tahun 1955 dia menggabungkan terapi humanistik, filosofis, dan behavioral menjadi terapi rasional-emotif (TRE). Ellis berhak menyandang gelar ayahnya TRE dan kakeknya terapi kognitif behavioral. Dalam sebuah wawancara dia ditanya sebagai apa kiranya ia ingin dikenang setelah kematiannya nanti.
Dalam bidang psikoterapi, saya ingin dikatakan sebagai tokoh teoritikus dan terapis perintis dari kognitif dan kognitif behavioral, bahwa saya telah berjuang keras agar kognisi diterima dalam psikoterapi, dan bahwa, sebagaian besar sebagai hasil usaha saya, akhirnya diterima juga, biarpun agak terlambat (Dryden, 1989, dalam Corey, 1986)
Sampai ke tingkat tertentu Ellis mengembangkan pendekatannya sebagai suatu metode penanganan masalahnya sendiri selama masa mudanya. Dalam salah satu segi hidupnya, misalnya dia merasa ketakutan yang berlebihan untuk bicara di depan orang banyak. Pada masa adolesen dia sangat pemalu di hadapan anak perempuan. Pada usia 19 tahun dia paksakan dirinya untuk bicara dengan 100 orang gadis di Bronx Botanical Garden dalam jangka waktu sebulan. Biarpun dia tidak pernah berhasil untuk berkencan dengan seseorang dalam pertemuannya yang singkat itu ia melaporkan bahwa ia telah mengdesensitisasi dirinya sendiri terhadap rasa takutnya ditolak wanita. Dengan mengaplikasikan metode kognitif behavioral dia telah berhasil mengalahkan beberapa dari rintangannya yang paling buruk (Ellis, 1962, 1979c). lagi pula, dia telah belajar betapa dia benar-benar menikkmati  berbicara di depan umum dan beberapa aktifitas yang lain yang dulunya pernah ia risaukan.
Orang yang mendengarkan kuliah Ellis sering berkomentar tentang gayanya yang bisa membangkitkan pertengkaran, penuh humor dan flamboyan (Dryden, 1989 dalam Corey, 1986). Dia memang melihat dirinya sendiri sebagai yang paling bisa menimbulkan pertengkaran dari orang lannya dalam loka karyanya, dan ia juga menganggap dirinya sebagai penuh humor dan dalam beberapa hal mengejutkan. Dalam lokakaryanya nampaknya dia menikmati kebiasaannya untuk mengungkapkan keeksentrikannya. Dia menikmati pekerjaannya, sesuatu yang merupakan komitmennya yang paling utama dalam hidupnya.
Ellis adalah orang yang sangat  produktif dan penuh gairah dan tak ayal lagi ia merupakan penulis dalam bidang konseling dan psikoterapi yang paling lincah. Di dalam kesibukannya sebagai seorang profesional dia masih menerima klien sampai sejumlah 80 orang seminggu dan mengadakan 5 sesi terapi kelompok setiap minggu, dan berbicara sebanyak 200 kali dalam loka karya bagi masyarakat umum yang ia adakan setiap tahun. Dia telah menerbitkan buku lebih dari 50 judul dan menulis lebih dari 600 artikel, sebagian besar tentang teori TRE dan pengaplikasiannya.

2.      Konsep dasar teori konseling Rational Emotive
Teori konseling kognitif lain dalam teori perilaku adalah teori Rational-emotive. Konsep dasar teori ini adalah bahwa pola berpikir manusia itu sangat dipengaruhi oleh emosi, demikian pula sebaliknya. Emosi adalah pikiran yang dialihkan dan diprasangkakan atau sebagai suatu proses sikap dan kognitif yang intrinsik. Sedangkan pikiran-pikiran  seseorang dapat menjadi emosi seseorang dan merasakan sesuatu dalam situasi tertentu pikiran seseorang.(Surya, 1988)

3.      Hakikat Manusia
Konsep manusia menurut TRE sebagaimana disebutkan Corey (1995: 463) adalah :
a.      Orang mengkondisikan dirinya sebagai merasakan adanya  suatu gangguan dan bukan dikondisikan oleh sumber yang berasal dari luar darinya.
b.     Orang ada yang kecenderungan biologis dan budaya untuk berpikir berbelit-belit dan menimbulkan gangguan pada diri sendiri, sesuatu yang sebenarnya tidak perlu terjadi.
c.      Manusia itu unik adalah arti bahwa mereka menemukan keyakinan yang mengganggu dan membiarkan dirinya terganggu oleh adanya gangguan itu.
d.      Orang ada yang kapasitas untuk mengubah proses kognitif, emotif, dan behavioral mereka; mereka bisa memilih untuk memberikan reaksi mereka secara berbeda dengan pola yang biasanya mereka anut, bisa menolak untuk membiarkan dirinya menjadi manusia  dan bisa melatih diri mereka sendiri sehingga pada akhirnya nanti mereka bisa bertahan mengalami gangguan yang minim menyelamatkan sisi hidupnya.
Secara umum ada dua prinsip yang mendominasi manusia, yaitu pikiran dan perasaan. TRE beranggapan bahwa setiap manusia yang normal memiliki pikiran, perasaan dan perilaku yang ketiganya berlangsung secara simultan. Pikiran mempengaruhi perasaan dan perilaku, perasaan mempengaruhi pikiran dan perilaku dan perilaku mempengaruhi pikiran dan perasaan.
Dalam memandang hakekat manusia TRE memiliki sejumlah asumsi tentang kebahagiaan dan ketidak bahagiaan dalam hubungannya dengan dinamika pikiran dan perasaan itu. Asumsi tentang hakekat manusia menurut TRE adalah sebagai berikut,
1)           Individu adalah Unik, yang memiliki kecenderungan untuk berfikir rasional dan irasional.
2)           Reaksi “emosional” disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan filosofi yang disadari ataupun tidak disadari oleh individu.
3)           Hambatan psikologis atau emosional adalah akibat dari cara berfikir yang tidak logis dan irasional.
4)           Berfikir irasional diawali dengan belajar secara tidak logis yang diperoleh dari orang tua dan kultur tempat dibesarkan.
5)           Berfikir secara irasional akan tercermin dari verbalisasi yang digunakan. Verbalisasi yang tidak logis menunjukkan cara berfikir yang salah dan verbalisasi yang tepat menunjukkan cara berfikir yang tepat pula. Dalam kaitannya dengan hal ini tujuan konseling adalah (a) menunjukkan pada klien bahwa verbalisasi diri telah menjadi sumber hambatan emosional (b) membenarkan bahwa verbalisasi diri adalah tidak logis dan irasional (c) membenarkan atau meluruskan cara berfikir dengan verbalisasi diri yang lebih logis dan efisien.
6)           Perasaan dan berfikir negative dan penolakan diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis yang dapat diterima menurut akal yang sehat, serta menggunakan cara verbalisasi yang rasional.

4.      Teori Kepribadian
            Pandangan tentang Sifat Manusia
TRE adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional dan jahat. Manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir dan mengatakan, mencintai, bergabung dengan orang lain, serta tumbuh dan mengaktualisasikan diri. Akan tetapi, manusia juga memiliki kecenderungan-kecenderungan ke arah menghancurkan diri, menghindari pemikiran, berlambat-lambat, menyesali kesalahan-kesalahan secara tak berkesudahan, takhayul, intoleransi, perfeksionisme dan mencela diri, serta menghindari pertumbuhan dan aktualisasi diri. Manusia pun berkecenderungan untuk terpaku pada pola-pola tingkah laku lama yang disfungsional dan mencari berbagai cara untuk terlibat dalam sabotase diri.
Manusia tidak ditakdirkan untuk menjadi korban pengkondisian awal. TRE menegaskan bahwa manusia memiliki sumber-sumber yang tidak terhingga bagi aktualisasi potensi-potensi dirinya dan bisa mengubah ketentuan-ketentuan pribadi dan masyarakatnya. Bagaimanapun, menurut TRE, manusia dilahirkan dengan kecenderungan untuk mendesakkan pemenuhan keinginan-keinginan, tuntutan-tuntutan, hasrat-hasrat, dan kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya. Jika tidak segera mencapai apa yang diinginkannya, manusia mempersalahkan dirinya sendiri ataupun orang lain (Ellis, 1973a, hlm. 175-176)
TRE menekankan bahwa manusia berpikir, beremosi, dan bertindak secara stimultan. Jarang manusia beremosi tanpa berpikir, sebab perasaan-perasaan biasanya oleh persepsi atas suatu situasi yang spesifik. Sebagaimana dinyatakan oleh Ellis (1973, hlm.313), “ketika mereka beremosi, mereka juga berpikir dan bertindak. Ketika mereka bertindak, mereka juga berpikir dan beremosi. Ketika mereka berpikir, mereka juga beremosi dan bertindak. Dalam rangka memahami tingkah laku menolak diri, orang harus memahami bagaimana seseorang beremosi, berpikir, mempersepsi, dan bertindak.
Tentang sifat manusia, Ellis (1967, hlm.79-80) menyatakan bahwa baik pendekatan psikoanalitik Freudian maupun pendekatan eksistensial telah keliru dan bahwa metodologi-metodologi yang dibangun di atas kedua system psikoterapi tersebut tidak efektif dan tidak memadai. Ellis menandaskan bahwa pandangan Freudian tentang manusia itu keliru karena pandangan eksistensial humanistic tentang manusia, sebagian benar. Menurut Ellis, manusia bukanlah makhluk yang sepenuhnya ditentukan secara biologis dan didorong oleh naluri-naluri. Ia melihat individu sebagai makhluk unik dan memiliki kekuatan untuk memahami keterbatasan-keterbatasan, untuk mengubah pandangan-pandangan dan nilai-nilai dasar yang telah diintroyeksikan secara tidak kritis pada masa kanak-kanak, dan untuk mengatasi kecenderungan-kecenderungan menolak diri sendiri.
TRE dan teori kepribadian
Pandangan teoritis tentang cirri-ciri tertentu kepribadian dan tingkah laku berikut gangguannya memisahkan terapi rasional-emotif dan teori yang melandasi sebagian besar pendekatan terapi yang lainnya. Rangkuman pandangan TRE tentang manusia adalah sebagai berikut.
            Neurosis, yang didefinisikan sebagai “berpikir dan bertingkah laku irasional”, adalah suatu keadaan alami yang pada taraf tertentu menimpa kita semua. Keadaan ini berakar dalam pada kenyataan bahwa kita adalah manusia dan hidup dengan manusia-manusia lain di dalam masyarakat.
            Emosi adalah produk pemikiran manusia. Jika kita berpikir buruk tentang sesuatu, maka kita pun akan merasakan sesuatu itu sebagai hal yang buruk. TRE menekankan bahwa menyalahkan adalah inti sebagian besar gangguan emosional. Oleh karena itu, jika kita ingin menyembuhkan orang yang neurotic atau psikotik, kita harus menghentikan penyalahan diri dan penyalahan terhadap orang lain yang ada pada orang tersebut. Orang perlu belajar untuk menerima dirinya sendiri dengan segala kekurangannya. Kecemasan bersumber pada pengulangan internal dari putusan “Aku tidak menyukai tingkah laku sendiri dan aku ingin mengubahnya” dan kalimat menyalahkan diri “karena tingkah laku yang keliru dan kesalahan-kesalahanku, aku menjadi orang yang tidak berharga, aku malu dan aku patut menderita”. Menurut TRE, kecemasan semacam ini tidak berguna, orang bisa dibantu untuk menyadari bahwa putusan-putusan irasional yang dipertahankannya itu keliru dan untuk melihat penyalahan diri yang telah menjebaknya.
Teori A-B-C tentang kepribadian
Teori A-B-C tentang kepribadian sangatlah penting bagi teori dan praktek TRE. A adalah keberadaan suatu fakta , suatu peristiwa, tingkah laku atau sikap seseorang. C adalah konsekuensi atau reaksi emosional seseorang; reaksi ini bisa layak dan tidak layak. A (peristiwa yang mengaktifkan) bukan penyebab timbulnya C (konsekuensi emosional). Alih-alih, B, yaitu keyakinan individu tentang A, yang menjadi penyebab C, yakni reaksi emosional.
Bagaimana gangguan emosional dipertahankan? Gangguan emosional itu dipertahankan oleh putusan-putusan yang tidak logis yang terus menerus diulang oleh individu seperti “aku benar-benar bersalah karena bercerai”. Reaksi-reaksi emosional yang terganggu seperti depresi dan kecemasan diarahkan dan dipertahankan oleh system keyakinan yang meniadakan diri, yang berlandaskan gagasan-gagasan yang irasional yang telah dimasukkan oleh individu kedalam dirinya.
TRE berasumsi bahwa keyakinan-keyakina dan nilai-nilai irasional orang-orang berhubungan secara kausal dengan gangguan-gangguan emosional dan behavioral-nya, maka cara yang paling efisien untuk membantu orang-orang itu dalam membuat perubahan-perubahan kepribadiannya adalah mengkonfrontasikan mereka secara langsung dengan filsafat hidup mereka sendiri, menerangkan kepada meraka bagaimana gagasan-gagasan irasional meraka diatas dasar-dasar logika, dan mengajari mereka bagaimana berpikir secara logis dan kerenanya mendorong mereka untuk mampu mengubah atau menghapus keyakinan-keyakinan irasionalnya.
Manusia pada dasarnya adalah unik, yang memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan jujur maupun irasional dan jahat. Ketika berpikir dan bertingkah laku rasional, manusia akan menjadi pribadi yang efektif, bahagia dan kompeten. Tetapi sebaliknya ketika manusia berpikir dan bertingkah laku irasional, individu itu menjadi tidak efektif. Reaksi emosional seseorang sebagian besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan filosofi yang disadari maupun tidak disadari. Hambatan psikologis / emosional adalah  akibat dari cara berpikir yang tidak logis dan irasional. Emosi menyertai individu yang berpikir dengan penuh prasangka, sangkal personal dan irasional.
Berpikir individual diawali dengan belajar secara tidak logis yang diperoleh dari orang tua dan budaya tempat dibesarkan. Berpikir secara irasional akan tercermin dari verbalisasi yang digunakan. Verbalisasi yang tidak logis menunjukkan cara berpikir yang salah dan verbalisasi yang tepat menunjukkan cara berpikir yang tepat. Perasaan dan pikiran negatif serta penolakan diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis, yang dapat diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara verbalisasi yang rasional.
Pandangan pendekatan rasional emotif tentang kepribadian dapat dikaji dari konsep-konsep kunci teori Albert Ellis. Ada tiga pilar yang membangun tingkah laku individu :
1.                  Antecedent Event (A)
2.                  Belief (B) dan
3.                  Emotional Consequence (C)
Kerangka pilar ini yang kemudian dikenal dengan konsep / teori ABC.
Antecedent Event (A)
Yaitu segenap peristiwa luas yang dialami / memapar individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku / sikap orang lain. Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa dan seleksi masuk bagi calon karyawan merupakan antecedent event bagi seorang.
Belief (B)
Yaitu keyakinan, pandangan, nilai / verbalisasi diri iindividu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada 2 macam, yaitu keyakinan yang rasional (Rational Belief atau rB) dan keyakinan yang tidak rasional (Irrational Belief atau iB).
Emotional Consequence (C)
Konsekuensi emosional sebagai akibat / reaksi individu dalam bentuk perasaan senang / hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecedent event (A). konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh beberapa variabel antara dalm bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun iB.

5.      Tujuan Terapis
            Dalam kontek teori kepribadian, tujuan konseling merupakan efek (E) yang diharapkan terjadi setelah dilakukan intervensi oleh konselor (desputing/D). oleh karena itu teori TRE tentang kepribadian dalam formula A-B-C dilengkapi pleh Ellis sebagai teori konseling menjadi A-B-C-D-E(antecedent event, belief, emotional consequence, desputing, dan effect). Efek yang dimaksud adalah keadaan psikologis yang diharapkan terjadi pada klien setelah mengikuti proses konseling.
Berangkat dari pandanganya tentang hakekkat manusia, tujuan konseling menurut Ellis pada dasarnya membentuk pribadi yang rasional, dengan jalan mengganti cara-cara berfikir yang irasional. Dalam pandangan Ellis, cara berfikir yang irasional itulah yang menjadi individu mengalami gangguan emosional dank arena itu cara-cara berfikirnya atau iB harus diubah menjadi yang lebih tepat yaitu cara berpikir yang rasional (rB).
Ellis mengungkapkan secara tegas pengertian tersebut mencakup memnimalkan pandangan yang mengalahkan diri (self-defeating) dan mencapai kehidupan yang lebih realistic, falsafah hidup yang toleran, termasuk didalamnya dapat mencapai keadaan yang dapat mengarahkan diri, menghargai diri, fleksibel, berfikir secara ilmiah, dan menerima diri.
Memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan serta pandangan-pandangan klien yang irasional dan tidak logis menjadi pandangan yang rasional dan logis agar klien dapat mengembangkan diri, meningkatkan sel-actualizationnya seoptimal mungkin melalui tingkah laku kognitif dan afektif yang positif.
Tiga tingkatan insight yang perlu dicapai klien dalam konseling dengan pendekatan rasional-emotif :
1.      Insight dicapai ketika klien memahami tentang tingkah laku penolakan diri yang dihubungkan dengan penyebab sebelumnya yang sebagian besar sesuai dengan keyakinannya tentang peristiwa-peristiwa yang diterima (antecedent event) pada saat yang lalu .
2.      Insight terjadi ketika konselor membantu klien untuk memahami bahwa apa yang mengganggu klien pada saat ini adalah karena berkeyakinan yang irasional terus dipelajari dari yang diperoleh sebelumnya.
3.      Insight dicapai pada saat konselor membantu klien untuk mencapai pemahaman ketiga yaitu tidak jauh ada jalan lain untuk keluar dari hambatan emosional kecuali dengan mendeteksi dan melawan keyakinan yang irasional.
Klien yang telah memiliki keyakinan rasional terjadi peningkatan dalam hal :
1.       Minat kepada diri sendiri
2.       Minat sosial
3.       Pengarahan diri
4.       Toleransi terhadap pihak lain
5.       Fleksibel
6.       Menerima ketidakpastian
7.       Komitmen terhadap sesuatu di luar dirinya
8.       Penerimaan diri
9.       Berani mengambil resiko
10.   Menerima kenyataan
Tujuan utama psikoterpis yang lebih baik adalah menunjukkan kepada klien bahwa verbalisasi-verbalisasi diri mereka telah dan masih merupakan sumber utama dari gangguan-gangguan emosiobnal yang dialami oleh mereka.
TRE mendorong suatu reevaluasi filosofis dan ideologis berlandaskan asumsi bahwa masalah-masalah manusia berakar secara filosofis. Jadi, TRE tidak diarahkan semata-mata pada penghapusan gejala (Ellis, 1967, hlm. 85; 1973a, hlm.172) tetapi untuk mendorong klien agar menguji secara kritis nilai-nilai dirinya yang paling dasar. Jika masalah yang dihadirkan oleh klien adalah ketakutan tas kegagalan perkawinan, sasaran yang dituju oleh terapis bukan hanya pengurangan ketakutan yang spesifik itu, melainkan penangananatas rasa takut gagal pada umumnya. TRE bergerak ke seberang penghapusan gejala, dalam arti tujuan utama proses terapeutiknya adalah membantu klien untuk membebaskan dirinya sendiri dari gejala-gejala yang dilaporkan dan yang tidak dilaporkan kepada terapis.
            Ringkasnya, proses terapeutik terdiri atas penyembuhan irasionalitas dengan rasionalitas. Karena individu pada dasarnya adalah makhluk rasional dan karena sumber ketidakbahagiaannya adalah irasionalitas, maka individu bisa mencapai kebahagiaan dengan belajar berpikir rasional. Proses terapi, karenanya, sebagian besar adalah proses belajar mengajar.

6.      Peran dan Fungsi Konselor
            Aktivitas-aktivitas terapeutik utama TRE dilaksanakan dengan satu maksud utama, yaitu : membantu klien untuk membebaskan diri dari gagasan-gagasan yang tidak logis dan untuk belajar gagasan-gagasan yang logis debagai penggantinya. Sasarannya adalah menjadikan klien menginternalisasi suatu filsafat hidup yang rasional sebagaimana dia menginternalisasi keyakinan-keyakinan dagmatis yang irasional dan tahyul yang berasal dari orangtuanya maupun dari kebudayaannya.
            Untuk mencapai tujuan tersebut, terapis memiliki tugas-tugas yang spesifik. Langkah pertama adalah menunjukkan kepada klien bahwa masalah yang dihadapinya berkaitan dengan keyakinan-keyakinan irasionalnya, menunjukkan bagaimana klien mengembangkan nilai-nilai dan sikap-sikapnya, dan menunjukkan secara kognitif bahwa klien telah memasukkan banyak "keharusan", "sebaiknya", dan semestinya". Klien harus belajar memisahkan keyakinan-keyakinannya yang rasional dari keyakinan-keyakinan irasionalnya. Agar klien mencapai kesadaran, terapis berfungsi sebagai kontrapropogandis yang menantang propaganda yang mengalahkan diri yang oleh klien pada mulanya diterima tanpa ragu sebagai kebenaran. Terapis mendorong, membujuk dan suatu saat bahkan memerintah klien agar terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang akan bertindak sebagai agen-agen kontra propaganda.
            Langkah kedua adalah membawa klien ke seberang tahap kesadaran dengan menunjukkan bahwa dia sekarang mempertahankan gangguan-gangguan emosional untuk tetap aktif dengan terus menerus berpikir secara tidak logis dan dengan mengulang-ulang kalimat-kalimat yang mengalahkan diri dan yang mengekalkan pengaruh masa kanak-kanak. Dengan perkataan lain, karena klien tetap mendoktrinasi diri, maka dia bertangung jawab atas masalah-masalahnya sendiri. Terapis tidak cukup hanya menunjukkan kepada kliennya bahwa klien memiliki proses-pross yang tidak logis, sebab klien cenderung mengatakan ”Sekarang saya mengerti bahwa saya memiliki ketakutan akan kegagalan dan bahwa ketakutan ini berlebihan dan tidak realistis. Sekalipun demikian, saya tetap merasa takut gagal!”
            Terapis yang bekerja dalam kerangka TRE fungsinya berbeda dengan kebanyakan terapis yang lebih konvensional. Karena TRE pada dasarnya adalah suatu proses terapeutik  kognitif dan behavioral yang aktif-direktif, TRE sering meminimalkan hubungan yang intens antara terapis dan klien. TRE adalah suatu proses edukatif, dan tugas utama terapis adalah mengajari klien cara-cara memahami dan mengubah diri. Terapis terutama menggunakan metodologi yang gencar, sangat direktif, dan persuasif yang menekankan aspek-aspek kognitif. Ellis (1973a, hlm.185) memberikan suatu gambaran tentang apa yang dilakukan oleh pempraktek TRE :
1.            Mengajak klien untuk berpikir tentang beberapa gagasan dasar yang irasional yang telah memotivasi banyak gangguan tingkah laku;
2.            Menentang klien untuk menguji gagasan-gagasannya;
3.            Menunjukkan kepada klien etidaklogisan pemikirannya;
4.            Menggunakan suatu analisis logika untuk meminimalkan keyakinan-keyakinan irasional klien;
5.            Menunjukkan bahwa keyakinan-keyakinan itu tida ada gunanya dan bagaimana keyakinan-keyakinan akan mengakibatkan gangguan-gangguan emosional dan tingkah laku di masa depan;
6.            Menggunakan absurditas dan humor ntuk menghadapi irasionalitas pikiran klien.
7.            Menerangkan bagaimana gagasan-gagasan yang irasional bisa diganti dengan gagasan-gagasan yang rasional yang memiliki landasan empiris; dan
8.            Mengajari klien bagaimana menerapkan pendekatan ilmiah pada cara berpikir sehingga klien bisa mengamati dan meminimalkan gagasan-gagasan yang irasional dan kesimpulan-kesimpulan yang tidak logis sekarang maupun pada masa yang akan datang, yang telah mengekalkan cara-cara merasa dan berperilaku yang merusak diri.
Konselor TRE diharapkan dapat memberikan penghargaan positif tanpa syarat kepada klien atau yang disebutnya dengan inconditional self-accaptense (USA) yaitu penerimaan diri tanpa syarat, karena filosofi TRE berpegang bahwa tidak ada manusia yang terkutuk untuk banyak hal. Sehubungan dengan hal tersebut Ellis menegaskan sikap konselor sebagai berikut. Penggunaan USA dalam konseling menurut Ellis akan membantu klien untuk menerima dirinya secara penuh, dan akhirnya akan meningkatkan hight frustation tolerance (HFT). Orang yang selalu melakukan penilian terhadap dirinya akan menimbulkan masalah besar bagi dirinya sendiri.
Menurut TRE peran konselor adalah sebagai berikut.
1.      konselor lebih edukatif-direktif kepada klien yaitu dengan banyak memberikan cerita dan penjelasan, khususnya pada tahap awal.
2.      mengkonfrontasikan masalah klien secara langsung.
3.      menggunakan pendekatan yang dapat memberi semangat dan memperbaiki cara berfikir klien, kemudian memperbaiki mereka untuk dapat mendidik dirinya sendiri.
4.      dengan gigih dan berulang-ulang dalam menekankan bahwa ide irasional itulah yang menyebabkan hambatan emosional pada klien.
5.      menyerukan klien menggunakan kemampuan rasional (rational power) dari pada emosinya.
6.      menggunakan pendekatan didaktik dan filosofis.
7.      menggunakan humor dan menggojlok sebagai jalan mengkonfrontasikan berfikir secara irasional.

7.      Hubungan Klien dan Terapis
Pola hubungan pada konseling ini berbeda denagn sebagian besar bentuk terapi yang lain.  ide dasar pengembangan hubungan adalah menolong klien dalam hal menghindari sifat mengutuk  diri sendiri. Disini terapis harus menunjukkan sifat penerimaan mereka secara penuh, tidak ada hubungan yang membertikan arti utama paad kehangatan pribadi dan pengertian empatik, dengan asumsi empatik bisa menjadi kontra produktif  karena bisa memupuk rasa ketergantungan.  Tetpi terapis menekankan hubungan saling mengerti  dan membangun kerjasama dan terapis biasanya sanagt terbuka dan langsung dalam mengungkapkan keyakinan dan nilai mereka sendiri (Corey, 1995: 475-476).
8.      Metode Konseling Rational-Emotive
Metode konseling rational-emotive adalah lebih menekankan pada peran konselor untuk membantu klien keluar dari kesulitan atau permasalahan yang dihadapinya, klien yang mempunyai permasalahan menunjukan bahwa kesulitannya disebabkan oleh persepsi yang terganggu dan pikiran-pikiran yang tidak logis dan berusaha memperbaikinya adalah harus kembali kepada sebab-sebab permulaan. Oleh karena itu konselor akan mengajarkan kliennya untuk mengubah pikiran, perasaan dan perilaku yang tidak logis.


1.      Teknik Konseling Rational-Emotive 
a. Teknik Emotive
Menurut Corey (1995) ada beberapa teknik emotif, yaitu: (1) asertive training; digunakan untuk melatih, mendorong dan membiasakan klien untuk secara terus menerus menyesuaikan dirinya dengan pola perilaku sesuai dengan yang diinginkannya, (2) sosiodrama; digunakan untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan klien (perasaan-perasaan negatif) melalui suatu suasana yang dramatisasikan sehingga klien dapat secara bebas mengungkapan dirinya sendiri baik secara lisan, tulisan ataupun melalui gerakan-gerakan dramatis, (3) self modeling, digunakan dengan meminta klien untuk berjanji atau mengadakan komitmen dengan konselor untuk menghilangkan perasaan atau perilaku tertentu. (4)  irnitasi, digunakan dimana klien diminta untuk menirukan secara terus menerus suatu model perilaku tertentu dengan maksud menghadapi perilakunya sendiri yang negatif.
b. Teknik Behavioristik
Ada dua teknik behavioristik yaitu; (1). Reinforment, digunakan untuk mendorong klien kearah perilaku yang lebih rasional dan logis dengan jalan memberikan pujian verbal ataupun punishment, (2) Social modeling, digunakan untuk menggambarkan perilaku –perilaku tertentu, khususnya situasi-situasi interpersonal yang kompleks dalam bentuk percakapan sosial, interaksi dengan memecahkan masalah-masalah.
     3.  Teknik Kognitif
Teknik kognitif yang cukup dikenal adalah Home Work Assigment atau teknik tugas rumah, digunakan agar klien dapat membiasakan diri serta menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntun pola perilaku yang diharapkan.(Corey, 1995) 


`````````````` 

Semoga bermanfaat!


~dosen pengampu: dakhandayani-ivet

Minggu, 12 Oktober 2014

Sosio Antropologi Pendidikan



SOSIO ANTROPOLOGI PENDIDIKAN
Oleh: dakhandayani



A.    PENDAHULUAN
Perkembangan sosiologi antropologi pendidikan di Indonesia diawali hanya sebagai ilmu pembantu belaka, namun seiring timbulnya perguruan tinggi dan kesadaran bahwa sosiologi antropologi pendidikan sangat penting dalam menelaah masyarakat Indonesia yang sedang berkembang maka sosiologi antropologi pendidikan menempati tempat yang penting dalam daftar kuliah di beberapa perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Oleh karena itu mengetahui dan memahami seluk beluk sosiologi antropolgi pendidikan sangat dianjurkan guna mendapatkan pengetahuan yang menunjang perkembangan ilmu itu sendiri dan aplikasinya dalm kehidupan baik sebagai mahluk individu maupun sebagai mahluk bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.


Sosiologi pendidikan merupakan disiplin ilmu yang relatif baru, berkembang di awal abad 20 dan mengalami hambatan dalam perkembangannya, karena dianggap dapat dipelajari atau merupakan salah satu sub dalam pembahasan sosiologi.

1.     SEJARAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Kata atau istilah ”sosiologi” pertama-tama muncul dalam salah satu jilid karya tulis Auguste Comte (1978 – 1857) yaitu di dalam tulisannya yang berjudul ”Cours de philosophie Positive.” Oleh Comte, istilah sosiologi tersebut disarankan sebagai nama dari suatu disiplin yang mempelajari ”masyarakat” secara ilmiah. Dalam hubungan ini, ia begitu yakin bahwa dunia sosial juga ”berjalan mengikuti hukum-hukum tertentu” sebagaimana halnya dunia fisik atau dunia alam (Faisal dan Yasik, tt:11).
Berdasarkan hal diatas, kita tahu bahwa Comte meyakini dunia sosial juga dipelajari dengan metode yang sama sebagaimana digunakan untuk mempelajari dunia fisik atau kealaman. Dan bidang kajian sosiologi pendidikan sendiri, berangkat dari keinginan para sosiologi untuk menyumbangkan pemikirannya bagi pemecahan masalah pendidikan. Dalam pandangan mereka, pada saat itu sosiologi pendidikan diasosiasikan dengan konsep ”Educational Sociology.”
Dalam perkembangannya, pada tahun 1914 sebanyak 16 lembaga pendidikan menyajikan mata kuliah ”Educational Sociology” pada periode berikutnya, muncul berbagai buku yang memuat bahasan mengenai ”Educational Sociology,” termasuk juga berbagai konsep tentang hubungan antara sosiologi dengan pendidikan. Selama puluhan tahun pertama, perkembangan sosiologi pendidikan berjalan lamban. Perkembangan signifikan sosiologi pendidikan ditandai dengan diangkatnya Sir Fred Clarke sebagai Direktur Pendidikan Tinggi Kependidikan di London pada tahun 1937. Clarke menganggap sosiologi mampu menyumbangkan pemikiran bagi bidang pendidikan.
Sehubungan dengan penamaan sosiologi pendidikan, terdapat perdebatan yang cukup tajam tentang penggunaan istilah-istilah yang digunakan antara lain sociological approach to education, educational sociology of education, atau the foundation. Pada akhirnya dipilih istilah sociology of education dengan tekanan dan wilayah tekanannya pada proses sosiologis yang berlangsung dalam lembaga pendidikan. Adapun perkembangan sosiologi di Indonesia diawali hanya sebagai ilmu pembantu belaka, namun seiring timbulnya perguruan tinggi dana kesadaran bahwa sosiologi sangat penting dalam menelaah masyarakat Indonesia yang sedang berkembang maka sosiologi yang salah satunya adalah sosiologi pendidikan menempati tempat yang penting dalam daftar kuliah di beberapa perguruan tinggi di seluruh Indonesia.

2.     PENGERTIAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Sosiologi pendidikan terdiri dari dua kata, sosiologi dan pendidikan. Dilihat dari istilah etimologi kedua kata ini tentu berbeda makna, namun dalam sejarah hidup dan kehidupan serta budaya manusia, keduanya menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan, terutama dalam sistem memberdayakan manusia dimana sampai saat ini memanfaatkan pendidikan sebagai instrumen pemberdayaan tersebut.

       a.     SOSIOLOGI
Secara etimologis sosiologi berasal dari kata latin “socius” dan kata Yunani “logos”. “Socius” berarti kawan, sahabat, sekutu, rekan, masyarakat. “logos” berarti ilmu. Jadi sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang masyarakat. (Chaerudin, dkk, 1995:67).
Dari segi isi, banyak ahli sosiologi mengemukakan berbagai definisi. Kita ambil sejumlah definisi untuk memberi gambaran tentang sosiologi.
W.F. Ogburn dan M.F. Nimkoff dalam buku mereka “A Handbook of Sociology”, memberikan definisi sosology is the scientific of social life; yang maksudnya : sosiologi adalah studi secara ilmiah terhadap kehidupan sosial. (Ahmadi, 1984:9)
Roucek dan Wafren : Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok. (Soekanto, 1989:16).
Menurut Ibnu Chaldun, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang masyarakat manusia dalam bentuknya yang bermacam-macam, watak dan ciri-ciri dari pada tiap-tiap bentuk itu dan hukum yang menguasai perkembangan. Sementara Prof. Groenman mendefinisikan sosiologi sebagai suatu ilmu yang mempelajari tindakan-tindakan manusia dalam usahanya menyesuaikan diri dalam suatu ikatan. Penyesuaian ini meliputi:
1)     menyesuaikan diri terhadap lingkungan geografi
2)     menyesuaikan diri pada sesama manusia
3)     penyesuaian diri dengan lingkungan kebudayaan sekelilingnya
(Ahmadi, 1989:9-10).
Dari rumusan diatas kita dapat menarik kesimpulan, yaitu bahwa sosiologi adalah:
a)     merupakan hidup bermasyarakat dalam arti yang luas
b)    perkembangan masyarakat di dalam segala aspeknya
c)     hubungan antar manusia dengan manusia lainya dalam segala aspeknya.

      b.     PENDIDIKAN
Pendidikan (Paedegogic) berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari kata “pais”, artinya anak, dan ”again” diterjemahkan membimbing, jadi paedagogic yaitu bimbingan yang diberikan kepada anak.
Secara definitif pendidikan (paedagogic) diartikan, sebagai berikut:
1)     Jhon Dewey
Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia (Ahmadi dan Uhbiyati, 2001:69).
2)     Langeveld
Mendidik adalah mempengaruhi anak dalam membimbingnya supaya menjadi dewasa. Usaha membimbing adalah usaha yang disadari dan dilaksanakan, disengaja antara orang dewasa dengan anak yang belum dewasa (Suwarno, 1992:49)
3)     Ki Hajar Dewantara
Mendidik adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tinginya (Ahmadi dan Uhbiyati, 2001:69)
4)     Undang-undang Republik Indonesia SISDIKNAS No.20 tahun 2003
Pendidikan adalah usaha dasar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual kegamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Berdasarkan uraian diatas, pendidikan pada hakekatnya suatu kegiatan yang secara sadar dan disengaja, serta penuh tanggung jawab yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak sehingga timbul interaksi dari keduanya agar anak tersebut mencapai kedewasaan yang dicita-citakan dan berlangsung terus-menerus.

      c.      SOSIOLOGI PENDIDIKAN
R.J. Stalcup mengemukakan bahwa sociology of education merupakan suatu analisis terhadap proses-proses sosiologis yang berlangsung dalam lembaga pendidikan. Tekanan dan wilayah telaahnya pada lembaga pendidikan itu sendiri (Faisal dan Yasin, tt:39).

Beberapa pengertian sosiologi pendidikan yang lain termuat dalam Nasution (2004: 4):
1)     menurut George Payne, yang kerap disebut bapak Sosiologi pendidikan, secara spesifik memandang sosiologi pendidikan sebagai studi yang komprehensif tentang segala aspek pendidikan dari segala segi ilmu yang dterapkan. Baginya, sosiologi pendidikan tidak hanya meliputi segala sesuatu dalam bidang sosiologi yang dapat dikenakan sosiologis. Adapun menurutnya adalah memberikan guru-guru, para peneliti yang efektif dalam sosiologi yang dapat memberikan sumbangannya kepada pemahaman yang lebih mendalam tentang pendidikan.
2)     F.G Robbins dan Brown mengemukakan bahwa sosiologi pendidikan adalah ilmu yang membicarakan dan menjelaskan hubungan-hubungan sosial yang mempengaruhi individu untuk mendapatkan serta mengorganisasikan pengalamannya. Sosiologi pendidikan juga mempelajari kelakuan sosial serta prinsip-prinsip untuk mengontrolnya.
3)     E.B. Reutern: Sosiologi pendidikan mempunyai kewajiban untuk menganalisa lembaga-lembaga pendidikan dalam hubungannya dengan perkembangan manusia dan dibatasi oleh pengaruh-pengaruh lembaga-lembaga pendidikan yang menentukan kepribadian sosial dari tiap-tiap individu. Jadi pada dasarnya antara individu dengan lembaga-lembaga sosial saling mempengaruhi (process social interaction).

Tidak ketinggalan, Gunawan (2006:2) mengemukakan definisinya tentang sosiologi pendidikan, yaitu ilmu pengetahuan yang berusaha memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan analisis atau pendekatan sosiologis.

Dari beberapa definisi, dapat disimpulkan bahwa sosiologi pendidikan adalah ilmu yang mempelajari seluruh aspek pendidikan, baik itu struktur, dinamika, masalah-masalah pendidikan ataupun aspek-aspek lainnya secara mendalam melalui analisis atau pendekatan sosiologis.
Aktivitas masyarakat dalam pendidikan, merupakan sebuah proses sehingga pendidikan dapat dijadikan instrumen oleh individu untuk dapat berinteraksi secara tepat di komunitas dan masyarakatnya. Pada sisi lain, sosiologi pendidikan memberikan penjelasan yang relevan dengan kondisi kekinian masyarakat, sehingga setiap individu sebagai anggota masyarakat dapat menyesuaikan diri dengan pertumbuhan dan perkembangan berbagai fenomena yang muncul dalam masyarakatnya.

Namun demikian, pertumbuhan dan perkembangan masyarakat merupakan bentuk lain dari pola budaya yang dibentuk oleh suatu masyarakat. Pendidikan tugasnya tentu saja memberi penjelasan mengapa suatu fenomena terjadi, apakah fenomena tersebut merupakan suatu yang harus terjadi, dan bagaimana mengatasi segala implikasi yang bersifat buruk dari berkembangnya fenomena tersebut sekaligus memelihara implikasi dari berbagai fenomena yang ada.


3.     RUANG LINGKUP SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Penelitian dan analisis terhadap sistem pendidikan berdasarkan keduanya yang sekarang, tentunya sudah bisa dikuatkan ruang lingkup sosiologi pendidikan. Karena minat dan pengalaman, ruang lingkup yang diajukan ini terbatas pada wilayah analisis seputar sistem pendidikan formal.

Dalam hubungan ini, Nasution (2004:6-7), mengemukakan ruang lingkup sosiologi pendidikan meliputi pokok-pokok berikut ini:
a.     Hubungan sistem pendidikan dengan aspek-aspek lain dalam masyarakat
1)     hubungan pendidikan dengan sistem sosial atau struktur sosial
2)     hubungan antara sistem pendidikan dengan proses kontrol sosial dan sistem kekuasaan
3)     fungsi pendidikan dalam kebudayaan
4)     fungsi sistem pendidikan dalam proses perubahan sosial dan kultural atau usaha mempertahankan status quo, dan
5)     fungsi sistem pendidikan formal bertalian dengan kelompok rasial, kultural dan sebagainya

b.     Hubugan antar manusia di dalam Sekolah
1)     hakikat kebudayaan Sekolah sejauh ada perbeadaanya dengan kebudayaan diluar sekolah
2)     pola interaksi sosial dan struktur masyarakat Sekolah, yang antara lain meliputi berbagai hubungan kekuasaan, stratifikasi sosial dan pola kepemimpinan informal sebagaimana terdapat dalam clique serta kelompok-kelompok murid lainnya

             c.      Pengaruh Sekolah terhadap perilaku dan kepribadian semua pihak di sekolah / lembaga pendidikan
1)     peranan sosial guru-guru / tenaga pendidikan
2)     hakikat kepribadian guru / tenaga pendidikan
3)     pengaruh kepribadian guru / tenaga kependidikan terhadap kelakuan anak / peserta didik, dan
4)     fungsi Sekolah / lembaga pendidikan dalam sosial murid / peserta didik.

             d.     Hubungan lembaga pendidikan dalam masyarakat
Di sini dianalisis pola-pola interaksi antara sekolah/ lembaga pendidikan dengan kelompok-kelompok sosial lainnya dalam masyarakat di sekitar sekolah/ lembaga pendidikan. Hal yang termasuk dalam wilayah itu antara lain yaitu :
1)     Pengaruh masyakarat atas organisasi Sekolah /lembaga pendidikan
2)     Analisis proses pendidikan yang terdapat dalam sistematis sosial dalam masyarakat luar sekolah.
3)     Hubungan antara Sekolah dan masyarakat pendidikan dan
4)     Faktor-faktor demografi dan ekologi dalam masyarakat yang berkaitan dengan organisasi Sekolah, yang perlu untuk memahami sistem pendidikan dalam masyarakat serta integrasinya di dalam kehidupan masyarakat.

Ruang lingkup sosiologi pendidikan tersebut pada dasarnya untuk mempererat dan meningkatkan tujuan pendidikan secara keseluruhan. Karena itu, sosiologi pendidikan tidak akan keluar dari upaya-upaya agar pencapaian tujuan dan fungsi pendidikan tercapai menurut pendidikan itu sendiri.


4.     SEJARAH ANTROPOLOGI PENDIDIKAN
Sejarah tentang antroplogi pendidikan tidak bisa kita pisahkan dari perkembangan ilmu antropologi itu sendiri, karena antropologi pendidikan merupakan bagian dari antroplogi.
Antroplogi sebagai sebuah ilmu mengalami tahapan-tahapan dalam perkembangannya. Koentjaraningrat (1986:1-5) membaginya ke dalam 4 (empat) tahap.
Tahap pertama, ditandai dengan tulisan tangan bangsa Eropa yang melakukan penjajahan di benua Afrika, Asia, dan Amerika pada akhir abad ke-15. Tulisan itu merupakan deskripsi keadaan bangsa-bangsa yang mereka singgahi. Deskripsi yang dituliskan mencakup adat istiadat, suku, susunan masyarakat, bahasa, dan ciri-ciri fisik. Deskripsi tersebut sangat menarik bagi masyarakat Eropa karena berbeda dengan keadaan di Eropa pada umumnya. Bahan deskripsi itu disebut juga Etnografi (Etnos berarti bangsa)
Tahap kedua, mereka menginginkan tulisan-tulisan atau deskripsi yang tersebar itu dikumpulkan jadi satu dan diterbitkan. Isinya disusun berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat, yaitu masyarakat dan kebudayaan manusia berevolusi dengan sangat lambat, dari tingkat rendah sampai tingkat tertinggi. Dari sinilah bangsa-bangsa digolongkan menurut tingkat evolusinya. Sekitar tahun 1860, terbit karangan yang mengaklasifikasikan berbagai kebudayaan tingkat evolusinya. Saat itu lahirlah antropologi.
Dengan demikian pada tahap kedua ini, antroplogi telah bersifat akademis. Pada tahap ini, antropologi mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitiv untuk memperoleh pengertian mengenai tingkat-tingkat perkembangan dalam sejarah evolusi dan sejarah penyebaran manusia di dunia.
Tahap ke tiga, antropologi menjadi ilmu yang praktis. Pada tahap ini, antropologi mempalajari masyarakat jajahan demi kepentingan kolonial. Hal ini berlangsung sekitar awal abad ke-20. Pada abad ini, antropologi semakin penting untuk mengukuhkan dominasi bangsa-bangsa Eropa Barat di daerah jajahannya. Dengan antropologi, bangsa Eropa mempelajari dan tahu bagaimana menghadapi masyarakat daerah jajahannya. Selain itu, bangsa–bangsa terjajah pada umumnya belum sekompleks bangsa Eropa Barat. Oleh karena itu, mempelajari bangsa-bangsa terjajah bagi bangsa Eropa dapat menambah pengertian mereka tentang masyarakat mereka sendiri (Bangsa Eropa Barat) yang kompleks.
Tahap ke empat, antropologi berkembang sangat luas, baik dalam akurasi bahan pengetahuanya maupun ketajaman metode-metode ilmiahnya. Hal ini berlangsung sekitar pertengahan abad ke-20. Sasaran penelitian antropologi di masa ini bukan lagi suku bangsa primitiv dan bangsa Eropa Barat, tapi beralih pada penduduk pedesaan, baik mengenai keanekaragaman fisik, masyarakat, maupun kebudayaannya termasuk suku bangsa di daerah pedesaan di Amerika dan Eropa Barat itu sendiri, peralihan sasaran penelitian itu terutama disebabkan oleh munculnya ketidaksenangan terhadap penjajahan dan makin berkurangnya masyarakat yang dianggap primitiv.
Seperti halnya antropologi pada umumnya, antropologi pendidikan berusaha menyusun genaralisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya dalam rangka memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia khususnya dalam dunia pendidikan.
Shomad (2009:1) menyatakan bahwa studi antropologi pendidikan adalah spesialisasi yang termudah dalam antropologi. Setelah dasawarsa tahun 60-an di Amerika Serikat semakin banyak diperlukan keahlian dalam antropologi untuk meneliti masalah-masalah pendidikan, maka antropologi pendidikan kemudian dianggap dapat berdiri sendiri sebagai cabang spesialisasi antropologi yang resmi.
Di Indonesia, sebagai negara yang sedang membangun, sangat diperlukan pengenalan kondisi yang lebih baik dan lebih lengkap agar pembangunan yang diberlakukan tidak menimbulkan kesenjangan dengan kondisi yang sejatinya. Antropologi pendidikan sering sejalan dengan perkembangan tersebut. Dewasa ini antropologi pendidikan sendiri atau bersama-sama dengan sosiologi pendidikan, menjadi mata kuliah wajib di lembaga pendidikan tenaga kependidikan.


5.     PENGERTIAN ANTROPOLOGI PENDIDIKAN
       a.     ANTROPLOGI
Antropologi berasal dari kata Yunani ”antrophos” yang berarti ”manusia” dan ”logos” yang berarti ”ilmu”. Jadi antropologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang manusia sebagai makhluk masyarakat. Menurut R. Bedediet (Harsojo,1984:1) perhatian ilmu pengetahuan ini ditujukan kepada sifat khusus badaniah dan cara produksi tradisi serta nilai-nilai yang membuat pergaulan hidup yang satu berbeda dari pergaulan hidup lainnya.

Definisi tentang antropologi juga muncul dalam situs wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/antropologi), yaitu :
·         William A. Havilan
Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
·         David Hunter
Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang manusia
·         Koentjaraningrat
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk pada fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.

Dari definisi tersebut, dapat disusun pengertian sederhana antroplogi yaitu sebuah ilmu yanag mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berperilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnnya berbeda-beda.

      b.     PENDIDIKAN
Ngalim Purwanto (1995:11) menyatakan bahwa pendidikan ialah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.
Esensi dari pendidikan itu sendiri ialah pengalihan (transmisi) kebudayaan (ilmu pengetahuan, ide-ide dan nilai-nilai spiritual serta estetika) dari generasi yang lebih tua kepada generasi yang lebih muda setiap masyarakat atau bangsa.

        c.      ANTROPOLOGI PENDIDIKAN
Antropologi pendidikan merupakan sebuah kajian sistematik, tidak hanya mengenai praktek pendidikan dalam perspektif budaya, tetapi juga tentang asumsi yang dipakai antropologi terhadap pendidikan dan asumsi yang dicerminkan oleh praktek-praktek pendidikan (Imran Manan dalam Zamzami, http://Izamzami.multiply.com/reviews/item/s).

Menurut Shomad (2009:1), antropologi pendidikan mengkaji penggunaan teori-teori dan metode yang digunakan oleh para antropolog serta pengetahuan khususnya yang berhubungan dengan kebutuhan manusia atau masyarakat. Dengan demikian, antropologi pendidikan bukan menghasilkan ahli-ahli antropologi melainkan menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang pendidikan melalui perspektif antropologi.
Pendidikan dapat diperoleh melalui lembaga formal dan informal. Penyampaian kebudayaan melalui lembaga informal tersebut dilakukan semenjak kecil di dalam lingkungan keluarganya. Dalam masyarakat, pendidikan memiliki fungsi yang sangat besar dalam memahami kebudayaan sebagai satu keseluruhan.
Antropologi pendidikan dihasilkan melalui teori khusus dan percobaan yang terpisah dengan kajian yang sistematis mengenai praktek pendidikan dalam perspektif budaya, sehingga antropologi menyimpulkan bahwa sekolah merupakan sebuah benda budaya yang menjadi skema nilai-nilai dalam membimbing masyarakat.

      6.     RUANG LINGKUP ANTROPOLOGI PENDIDIKAN
Ralphlinton dalam Shomad (2009:3) menganggap kebudayaan adalah warisan sosial. Warisan sosial tersebut mempunyai dua fungsi. Pertama, fungsi bagi penyesuaian diri dengan masyarakat. Kedua, fungsi bagi penyesuaian diri dengan lingkungan.
Lebih lanjut, Shomad (2009:3-4), menjelaskan implementasi pendidikan sebagai penyesuaian diri dengan masyarakat, lingkungan dan kebudayaan sebagai bentuk ruang lingkup antroplogi pendidikan berlangsung dalam proses. yaitu:

      a.     Proses Sosialisasi:
Proses ini dimulai sejak bayi baru lahir. Bayi berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya, hingga terjadi komunikasi timbal balik dan seterusnya hingga ia tumbuh dan berkembang.
Adapun yang menjadi sorotan dalam proses sosialisasi yaitu:
1)     adanya konflik oleh ketidakharmonisan antara keinginan pribadi anak dengan tuntutan norma dan aturan yang berlaku
2)     perbedaan status ekonomi dan letak geografis

        b.     Proses Enkulturasi
Enkulturasi, artinya pembudayaan. Yang dimaksud adalah proses pembudayaan anak agar menjadi manusia berbudaya. Dalam proses ini pranata, yaitu sistem norma atau aturan-aturan mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus (Koentjaraningrat,1980 :164).
Adapun yang biasa menjadi kajian dalam proses ini, yaitu:
1)     Perbedaan jenis kelamin
2)     Perbedaan umur
3)     Perbedaan/perubahan status (inisiasi)
4)     Proses Internalisasi
Proses internalisasi yaitu proses penerimaan dan menjadikan warisan sosial (pengetahuan budaya) sebagai isi kepribadian yang dinyatakan dalam perilaku sehari-hari selama hayat masih dikandung badan.
Dalam proses ini kita mendapatkan adanya perbedaan pada masing-masing individu berupa perbedaan kepribadian dan pengalaman.

Sehubungan dengan penamaan sosiologi pendidikan, terdapat perdebatan yang cukup tajam tentang penggunaan istilah-istilah yang digunakan antara lain sociological approach to education, educational sociology of education, atau the foundation. Pada akhirnya dipilih istilah sociology of education dengan tekanan dan wilayah tekanannya pada proses sosiologis yang berlangsung dalam lembaga pendidikan.
R.J. Stalcup mengemukakan bahwa sociology of education merupakan suatu analisis terhadap proses-proses sosiologis yang berlangsung dalam lembaga pendidikan. Tekanan dan wilayah telaahnya pada lembaga pendidikan itu sendiri.
Nasution mengemukakan ruang lingkup sosiologi pendidikan meliputi pokok-pokok berikut ini:
·         hubungan sistem pendidikan dengan aspek-aspek lain dalam masyarakat
·         hubungan antar manusia di dalam Sekolah
·         pengaruh Sekolah terhadap perilaku dan kepribadian semua pihak di sekolah / lembaga pendidikan
·         hubungan lembaga pendidikan dalam masyarakat Shomad menyatakan bahwa studi antropologi pendidikan adalah spesialisasi yang termudah dalam antropologi.

Setelah dasawarsa tahun 60-an di Amerika Serikat semakin banyak diperlukan keahlian dalam antropologi untuk meneliti masalah-masalah pendidikan, maka antropologi pendidikan kemudian dianggap dapat berdiri sendiri sebagai cabang spesialisasi antropologi yang resmi.

Antropologi pendidikan merupakan sebuah kajian sistematik, tidak hanya mengenai praktek pendidikan dalam perspektif budaya, tetapi juga tentang asumsi yang dipakai antropologi terhadap pendidikan dan asumsi yang dicerminkan oleh praktek-praktek pendidikan. Ralphlinton menganggap kebudayaan adalah warisan sosial. Warisan sosial tersebut mempunyai dua fungsi. Pertama, fungsi bagi penyesuaian diri dengan masyarakat. Kedua, fungsi bagi penyesuaian diri dengan lingkungan.

     C.   LANDASAN SOSIOLOGI
Peta dunia tentang kemakmuran dan kemajuan umat manusia berkembang dan bergeser dari yang diwarnai penguasaan/kekayaan akan Sumber Daya Alam (SDA) kepada pemilikan Sumber Daya Alam (SDA) yang bermutu. Tidak diragukan lagi bahwa mutu SDM merupakan fungsi pendidikan, dalam arti bahwa bangsa yang memiliki sistem pendidikan bermutu akan menjadi bangsa yang maju dan makmur, dan sebaliknya. Ada korelasi positif antara struktur penduduk berdasarkan pendidikan dengan tingkat pendidikan yang dicapai. Selanjutnya bisa dilihat bahwa antara mutu pendidikan dengan tingkat kemakmuran terdapat hubungan yang saling menguatkan.
Pada level individu, pendidikan merupakan proses sosialisasi dan pembudayaan melalui interaksi dengan lingkungan, yang menghasilkan pribadi-pribadi utuh yang menempati status tertentu dalam struktur sosialnya. Pendidikan merupakan proses pelestarian dan perubahan budaya. Melalui pendidikan, berlangsung pewarisan komponen-komponen budaya yang telah dibina dan dipelihara secara turun temurun, namun sejalan dengan itu melalui pendidikan orang diharapkan akan mampu membentuk hari esok yang lebih baik daripada hari ini dan hari kemarin yang dilewatinya. Meskipun secara teknis setiap masyarakat mengembangkan sistem pendidikan sendiri-sendiri sesuai dengan latar belakang sosio-budaya yang berlaku dan karakteristik masyarakatnya, tujuan akhirnya adalah sama yaitu mengembangkan pribadi-pribadi yang utuh, sehat jasmani dan rohani, berbudi pekerti luhur, beriman dan bertakwa, bermental kuat, produktif, kreatif, dan mandiri, bermakna bagi dirinya dan turut bertanggungjawab atas kesejahteraan masyarakat dan manusia pada umumnya.
Interaksi sosial merupakan kata kunci dalam proses pendidikan. Keberhasilan pendidikan ditentukan oleh mutu interaksi itu. Dengan siapa ia berinteraksi, pesan-pesan apa yang disampaikan, bagaimana interaksi itu berlangsung, media dan sarana-prasarana apa yang digunakan, serta bagaimana dampak interaksi itu pada pihak-pihak yang terlibat.
Pendidikan bisa dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, yaitu sudut pandang/dimensi akademik dan sudut pandang/dimensi praksisnya dalam kehidupan. Apabila dimensi akademik menekankan pada pemahaman dan pengembangan ilmu, dimensi praksis berkaitan dengan implementasinya dalam kehidupan beserta dampak-dampak social yang mengirinya. Sebenarnya kedua dimensi itu tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Antara keduanya terjalin hubungan kesalingtergantungan yang amat erat saling meningkatkan dan saling menguatkan.
Adapun yang menjadi fokus perhatian Sosiologi Pendidikan adalah yang kedua, yaitu dimensi praksis pendidikan itu, yang dalam tulisan ini dibatasi pada pengertian landasan sosiologi, latar belakang histories perkembangannya, landasan sosiologi pendidikan, ruang lingkup dan fungsi kajian sosiologi pendidikan, dan kajian masyarakat Indonesia sebagai landasan sosiologi sistem pendidikan nasional.
1.     PENGERTIAN LANDASAN SOSIOLOGI
Manusia selalu hidup berkelompok, sesuatu yang juga terdapat pada makhluk hidup lainnya yakni hewan. Meskipun demikian, pengelompokan manusia jauh lebih rumit dari pengelompokan hewan. Pada hewan, hidup berkelompok memiliki ciri-ciri (Wayan Ardhana, 1968) sebagai berikut: (a) ada pembagian kerja, (b) ada ketergantungan antar anggota, (c) ada kerjasama antar anggota, (d) ada komunikasi antar anggota, (e) ada diskriminasi antar individu yang hidup dalam kelompok lain. Ciri-ciri hewan tersebut dapat pula ditemukan pada manusia. Kehidupan sosial manusia tersebut dipelajari oleh filsafat, yang berusaha mencari hakekat masyarakat yang sebenarnya. Filsafat sosial sering membedakan manusia sebagai individu dan manusia sebagai anggota masyarakat. Pandangan aliran-aliran filsafat tentang realitas sosial itu berbeda-beda, sehingga dapat ditemukan bermacam-macam aliran filsafat sosial.
Sosiologi lahir dalam abad ke-19 di Eropa, karena pergeseran pandangan tentang masyarakat, sebagai ilmu empiris yang memperoleh pijakan yang kokoh. Sosiologi sebagai ilmu yang otonom dapat lahir karena terlepas dari pengaruh filsafat. Nama sosiologi untuk pertama kali digunakan oleh August Comte (1798-1857) pada tahun 1839, sosiologi merupakan ilmu pengetahuan positif yang mempelajari masyarakat. Sosiologi mempelajari berbagai tindakan sosial yang menjelma dalam realitas sosial. Mengingat banyaknya realitas social, maka lahirlah berbagai cabang sosiologi seperti sosiologi kebudayaan, sosiologi ekonomi, sosiologi agama, sosiologi pengetahuan, sosiologi pendidikan, dan lain-lain. Kegiatan pendidikan merupakan suatu proses interaksi antara dua individu, bahkan dua generasi, yang memungkinkan generasi muda memperkembangkan diri. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi di lembaga sekolah yang dengan sengaja di bentuk oleh masyarakat. Perhatian sosiologi pada pendidikan semakin intensif. Dengan meningkatnya perhatian sosiologi pada kegiatan pendidikan tersebut maka lahirlah cabang sosiologi pendidikan.

2.     LATAR BELAKANG HISTORIS SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Ketika diangkat menjadi Presiden American Sosiological Association pada tahun 1883, Lester Frank Ward, yang berpandangan demokratis, menyampaikan pidato pengukuhan dengan menekankan bahwa sumber utama perbedaan kelas sosial dalam masyarakat Amerika adalah perbedaan dalam memiliki kesempatan, khususnya kesempatan dalam memperoleh pendidikan. Orang berpendidikan lebih tinggi memiliki peluang lebih besar untuk maju dan memiliki kehidupan yang lebih bermutu. Pendidikan dipandang sebagai faktor pembeda antara kelas-kelas sosial yang cukup merisaukan. Untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan tersebut ia mendesak pemerintahnya agar menyelenggarakan wajib belajar. Usulan itu dikabulkan, dan wajib belajar di USA berlangsung 11 tahun, sampai tamat Senior High School (Rochman Natawidjaja, et. al., 2007: 78).
Buah pikiran Ward dijadikan landasan untuk lahirnya Educational Sociology sebagai cabang ilmu yang baru dalam sosiologi pada awal abad ke-20. Ia sering dijuluki sebagai “Bapak Sosiologi Pendidikan”(Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 79). Fokus kajian Educational Sociology adalah penggunaan pendidikan pendidikan sebagai alat untuk memecahkan permasalahan social dan sekaligus memberikan rekomendasi untuk mendukung perkembangan pendidikan itu sendiri. Kelahiran cabang ilmu baru ini mendapat sambutan luas dikalangan universitas di USA. Hal itu terbukti dari adanya 14 universitas yang menyelenggarakan perkuliahan Educational Sociology, pada tahun 1914. Selanjutnya, pada tahun 1923 dibentuk organisasi professional bernama National Society for the Study of Educational Sociology dan menerbitkan Journal of educational Sociology. Pada tahun 1948, organisasi progesional yang mandiri itu bergabung ke dalam seksi pendidikan dari American Sociological Society.
Pada tahun 1928 Robert Angel mengeritik Educational Sociology dan memperkenalkan nama baru yaitu Sociology of Education dengan focus perhatian pada penelitian dan publikasi hasilnya, sehingga Sociology of Education bisa menjadi sumber data dan informasi ilmiah, serta studi akademis yang bertujuan mengembangkan teori dan ilmu sendiri. Dengan dukungan dana penelitian yang memadai, berhembuslah angin segar
dan menarik para sosiolog untuk melakukan penelitian dalam bidang pendidikan. Maka diubahlah nama Educational Sociology menjadi Sociology of Education dan Journal of Educational Sociology menjadi Journal of the Sociology of Education (1963). Serta seksi Educational Sociology dalam American Sociological Society pun berubah menjadi seksi Sociology of Education yang berlaku sampai sekarang. Penelitian dan publikasi hasilnya menandai kehidupan Sociology of Education sejak pasca Perang Dunia II.
Sosiologi lahir dalam abad ke-19 di Eropa karena pergeseran pandangan tentang masyarakat sebagai ilmu empiris yang memperoleh pijakan yang kokoh. Nama sosiologi untuk pertama kali digunakan oleh August Comte (1798-1857) pada tahun 1839 (Umar Tirtarahardja dan La Sulo, 1994: 96). Di Prancis, pelopor sosiologi pendidikan yang terkemuka adalah Durkheim (1858-1917), merupakan Guru Besar Sosiologi dan Pendidikan pada Universitas Sorbonne.
Di Jerman, Max Weber (1864-1920) menyoroti keadaan dan penyelenggaraan pendidikan pada masyarakat dengan latar belakang sosial budaya serta tingkat kemajuan berbeda. Sedang di Inggris, perhatian sosiologi pada pendidikan pada awalnya kurang berkembang karena pelopor sosiologi-nya, yaitu Herbert Spencer (1820-1903) justru merupakan Darwinisme Sosial. Namun belakangan, di Inggris muncul aliran sosiologi yang memfokuskan perhatiannya akan analisis pendidikan pada level mikro, yaitu mengenai interaksi social yang terjadi dalam ruang belajar. Berstein, misalnya, berusaha dengan jalan menyajikan lukisan tentang kenyataan dan permasalahan yang terdapat dalam sistem persekolahan dengan tujuan agar para pengambil keputusan menentukan langkah-langkah perbaikan yang tepat. Pendekatan Berstein ini oleh Karabel dijuluki sebagai atheoretical, pragmatic, descriptive, and policy focused (Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 80).
Di Indonesia, perhatian akan peran pendidikan dalam pengembangan masyarakat, dimulai sekitar tahun 1900, saat Indonesia masih dijajah Belanda. Para pendukung politis etis di Negeri Belanda saat itu melihat adanya keterpurukan kehidupan orang Indonesia. Mereka mendesak agar pemerintah jajahan melakukan politik balas budi untuk memerangi ketidakadilan melalui edukasi, irigasi, dan emigrasi. Meskipun pada mulanya program pendidkan itu amat elitis, lama kelamaan meluas dan meningkat ke arah yang makin populis sampai penyelenggaraan wajib belajar dewasa ini. Pelopor pendidikan pada saat itu antara lain: Van Deventer, R.A.Kartini, dan R.Dewi Sartika.

3.     LANDASAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Landasan sosiologi mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan bermasyarakat suatu bangsa, kita harus memusatkan perhatian pada pola hubungan antar pribadi dan antar kelompok dalam masyrakat tersebut. Untuk terciptanya kehidupan masyarakat yang rukun dan damai, terciptalah nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya menjadi norma-norma social yang mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam norma yang dianut oleh pengikutnya, yaitu: (1) paham individualisme, (2) paham kolektivisme, (3) paham integralistik. Paham individualisme dilandasi teori bahwa manusia itu lahir merdeka dan hidup merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja menurut keinginannya, asalkan tidak mengganggu keamanan orang lain. Dampak individualisme menimbulkan cara pandang yang lebih mengutamakan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Dalam masyarakat seperti ini, usaha untuk mencapai pengembangan diri, antara anggota masyarakat satu dengan yang lain saling berkompetisi sehingga menimbulkan dampak yang kuat. Paham kolektivisme memberikan kedudukan yang berlebihan kepada masyarakat dan kedudukan anggota masyarakat secara perseorangan hanyalah sebagai alat bagi masyarakatnya. Sedangkan paham integralistik dilandasi pemahaman bahwa masing-masing anggota masyarakat saling berhubungan erat satu sama lain secara organis merupakan masyarakat. Masyarakat integralistik menempatkan manusia tidak secara individualis melainkan dalam konteks strukturnya manusia adalah pribadi dan juga merupakan relasi. Kepentingan masyarakat secara keseluruhan diutamakan tanpa merugikan kepentingan pribadi.
Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia menganut paham integralistik yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat: (1) kekeluargaan dan gotong royong, kebersamaan, musyawarah untuk mufakat, (2) kesejahteraan bersama menjadi tujuan hidup bermasyarakat, (3) negara melindungi warga negaranya, dan (4) selaras serasi seimbang antara hak dan kewajiban. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia tidak hanya meningkatkan kualitas manusia secara orang per orang melainkan juga kualitas struktur masyarakatnya.

4.     RUANG LINGKUP DAN FUNGSI KAJIAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Para ahli Sosiologi dan ahli Pendidikan sepakat bahwa, sesuai dengan namanya, Sosiologi Pendidikan atau Sociology of Education (juga Educational Sociology) adalah cabang ilmu Sosiologi, yang pengkajiannya diperlukan oleh professional dibidang pendidikan (calon guru, para guru, dan pemikir pendidikan) dan para mahasisiwa serta professional sosiologi.
Mengenai ruang lingkup Sosiologi Pendidikan, Brookover mengemukakan adanya empat pokok bahasan berikut: (1) Hubungan sistem pendidikan dengan sistem social lain, (2) Hubungan sekolah dengan komunitas sekitar, (3) Hubungan antar manusia dalam sistem pendidikan, (4) Pengaruh sekolah terhadap perilaku anak didik (Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 81). Sosiologi Pendidikan diharapkan mampu memberikan rekomendasi mengenai bagaimana harapan dan tuntutan masyarakat mengenai isi dan proses pendidikan itu, atau bagaimana sebaiknya pendidikan itu berlangsung menurut kacamata kepentingan masyarakat, baik pada level nasional maupun lokal.
Sosiologi Pendidikan secara operasional dapat defenisi sebagai cabang sosiologi yang memusatkan perhatian pada mempelajari hubungan antara pranata pendidikan dengan pranata kehidupan lain, antara unit pendidikan dengan komunitas sekitar, interaksi social antara orang-orang dalam satu unit pendidikan, dan dampak pendidikan pada kehidupan peserta didik (Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 82).
Sebagaimana ilmu pengetahuan pada umumnya, Sosiologi Pendidikan dituntut melakukan tiga fungsi pokok.
Pertama, fungsi eksplanasi, yaitu menjelaskan atau memberikan pemahaman tentang fenomena yang termasuk ke dalam ruang lingkup pembahasannya. Untuk diperlukan konsep-konsep, proposisi-proposisi mulai dari yang bercorak generalisasi empirik sampai dalil dan hukum-hukum yang mantap, data dan informasi mengenai hasil penelitian lapangan yang actual, baik dari lingkungan sendiri maupun dari lingkungan lain, serta informasi tentang masalah dan tantangan yang dihadapi. Dengan informasi yang lengkap dan akurat, komunikan akan memperoleh pemahaman dan wawasan yang baik dan akan dapat menafsirkan fenomena-fenomena yang dihadapi secara akurat. Penjelasan-penjelasan itu bisa disampaikan melalui berbagai media komunikasi.
Kedua, fungsi prediksi, yaitu meramalkan kondisi dan permasalahan pendidikan yang diperkirakan akan muncul pada masa yang akan datang. Sejalan dengan itu, tuntutan masyarakat akan berubah dan berkembang akibat bekerjanya faktor-faktor internal dan eksternal yang masuk ke dalam masyarakat melalui berbagai media komunikasi. Fungsi prediksi ini amat diperlukan dalam perencanaan pengembangan pendidikan guna mengantisipasi kondisi dan tantangan baru.
Ketiga, fungsi utilisasi, yaitu menangani permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat seperti masalah lapangan kerja dan pengangguran, konflik sosial, kerusakan lingkungan, dan lain-lain yang memerlukan dukungan pendidikan, dan masalah penyelenggaraan pendidikan sendiri.
Jadi, secara umum Sosiologi Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan fungsi-fungsinya selaku ilmu pengetahuan (pemahaman eksplanasi, prediksi, dan utilisasi) melalui pengkajian tentang keterkaitan fenomena-fenomena sosial dan pendidikan, dalam rangka mencari model-model pendidikan yang lebih fungsional dalam kehidupan masyarakat. Secara khusus, Sosiologi Pendidikan berusaha untuk menghimpun data dan informasi tentang interaksi sosial di antara orang-orang yang terlibat dalam institusi pendidikan dan dampaknya bagi peserta didik, tentang hubungan antara lembaga pendidikan dan komunitas sekitarnya, dan tentang hubungan antara pendidikan dengan pranata kehidupan lain.

5.     MASYARAKAT INDONESIA SEBAGAI LANDASAN SOSIOLOGIS SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Masyarakat selalu mencakup sekelompok orang yang berinteraksi antar sesamanya, saling tergantung dan terikat oleh nilai dan norma yang dipatuhi bersama, pada umumnya bertempat tinggal di wilayah tertentu, dan adakalanya mereka memiliki hubungan darah atau memiliki kepentingan bersama. Masyarakat dapat merupakan suatu kesatuan hidup dalam arti luas ataupun dalam arti sempit. Masyarakat dalam arti luas pada umumnya lebih abstrak misalnya masyarakat bangsa, sedang dalam arti sempit lebih konkrit misalnya marga atau suku. Masyarakat sebagai kesatuan hidup memiliki ciri utama, antara lain: (1) ada interaksi antara warga-warganya, (2) pola tingkah laku warganya diatur oleh adat istiadat, norma-norma, hukum, dan aturan-aturan khas, (3) ada rasa identitas kuat yang mengikat para warganya. Kesatuan wilayah, kesatuan adat- istiadat, rasa identitas, dan rasa loyalitas terhadap kelompoknya merupakan pangkal dari perasaan bangga sebagai patriotisme, nasionalisme, jiwa korps, dan kesetiakawanan sosial (Umar Tirtarahardja dan La Sulo, 1994: 100).
Masyarakat Indonesia mempunyai perjalanan sejarah yang panjang. Dari dulu hingga kini, ciri yang menonjol dari masyarakat Indonesia adalah sebagai masyarakat majemuk yang tersebar diribuan pulau di nusantara. Melalui perjalanan panjang, masyarakat yang bhineka tersebut akhirnya mencapai satu kesatuan politik untuk mendirikan satu negara serta berusaha mewujudkan satu masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang bhinneka tunggal ika. Sampai saat ini, masyarakat Indonesia masih ditandai oleh dua ciri yang unik, yakni (1) secara horizontal ditandai oleh adanya kesatuan-kesatuan social atau komunitas berdasarkan perbedaan suku, agama, adat istiadat, dan kedaerahan, dan (2) secara vertical ditandai oleh adanya perbedaan pola kehidupan antara lapisan atas, menengah, dan lapisan bawah.
Pada zaman penjajahan, sifat dasar masyarakat Indonesia yang menonjol adalah (1) terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok social atau golongan social jajahan yang seringkali memiliki sub-kebudayaan sendiri, (2) memiliki struktur social yang terbagi-bagi, (3) seringkali anggota masyarakat atau kelompok tidak mengembangkan konsensus di antara mereka terhadap nilai-nilai yang bersifat mendasar, (4) diantara kelompok relative seringkali mengalami konflik, (5) terdapat saling ketergantungan di bidang ekonomi, (6) adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok social yang lain, dan (7) secara relative integrasi social sukar dapat tumbuh (Wayan Ardhana, 1986: Modul 1/70).
Masyarakat Indonesia setelah kemerdekaan, utamanya pada zaman pemerintahan Orde Baru, telah banyak mengalami perubahan. Sebagai masyarakat majemuk, maka komunitas dengan ciri-ciri unik, baik secara horizontal maupun secara vertikal, masih dapat ditemukan, demikian pula halnya dengan sifat-sifat dasar dari zaman penjajahan belum terhapus seluruhnya. Namun niat politik yang kuat menjadi suatu masyarakat bangsa Indonesia serta kemajuan dalam berbagai bidang pembangunan, maka sisi ketunggalan dari “bhinneka tunggal ika” makin mencuat. Berbagai upaya dilakukan, baik melalui kegiatan jalur sekolah maupun jalur luar sekolah, telah menumbuhkan benih-benih persatuan dan kesatuan yang semakin kokoh.
Berbagai upaya telah dilakukan dengan tidak mengabaikan kenyataan tentang kemajemukan masyarakat Indonesia. Hal terakhir tersebut kini makin mendapat perhatian yang semestinya dengan antara lain dimasukkannya muatan lokal (mulok) di dalam kurikulum sekolah. Perlu ditegaskan bahwa muatan lokal di dalam kurikulum tidak dimaksudkan sebagai upaya membentuk “manusia lokal”, akan tetapi haruslah dirancang dan dilaksanakan dalam rangka mewujudkan “manusia Indonesia” di suatu lokal tertentu. Dengan demikian akan dapat diwujudkan manusia Indonesia dengan wawasan nusantara dan berjiwa nasional akan tetapi yang memahami dan menyatu dengan lingkungan (alam, sosial, dan budaya) di sekitarnya.

Dasar sosiologis berkenaan dengan perkembangan, kebutuhan, dan karakteristik masyarakat. Sosiologi pendidikan merupakan analisa ilmiah tentang proses social di dalam sistem pendidikan. Ruang lingkup yang dipelajari oleh sosiologi pendidikan meliputi empat bidang:
a.     hubungan sistem pendidikan dengan sistem sosial lain
b.     hubungan sekolah dengan komunitas sekitar
c.      hubungan antar manusia dalam sistem pendidikan
d.     pengaruh sekolah terhadap perilaku anak didik
Landasan sosiologis mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan bermasyarakat suatu bangsa, kita harus memusatkan perhatian pada pola hubungan antar pribadi dan antar kelompok dalam masyarakat tersebut. Untuk terciptanya kehidupan bermasyarakat yang rukun dan damai, terciptalah nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya menjadi norma-norma sosial yang mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat.
Sosiologi pendidikan dituntut untuk melakukan tiga fungsi, yaitu: (1) fungsi eksplanasi, (2) fungsi prediksi, (3) fungsi utilisasi. Secara umum, sosiologi pendidikan bertujuan untuk mengembangkan fungsi-fungsinya tersebut melalui pengkajian fenomena-fenomena sosial dan pendidikan, dalam rangka mencari model-model pendidikan yang lebih fungsional dalam kehidupan masyarakat.
Perkembangan masyarakat Indonesia dari masa ke masa telah mempengaruhi sistem pendidikan nasional. Hal tersebut sangatlah wajar, mengingat kebutuhan akan pendidikan semakin meningkat dan kompleks. Berbagai upaya pemerintah telah dilakukan untuk menyesuaikan pendidikan dengan perkembangan masyarakat terutama dalam hal menumbuh-kembangkan ke-Bhineka Tunggal Ika-an, baik melalui kegiatan jalur sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah.

D.   PENDIDIKAN DAN NILAI-NILAI BUDAYA

        1.     Nilai-nilai dan Kebudayaan
Nilai-nilai budaya adalah nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan perilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi.
Kebudayaan adalah  sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Adapun nilai-nilai budaya yang berharga untuk diperjuangkan adalah :
a.     Nilai Kejujuran
b.     Nilai Patriotisme
c.      Nilai Persaingan
d.     Nilai Harmonis dan Kerjasama
Secara Umum Orang seringkali  menemui kesulitan untuk  melihat nilai-nilainya secara objektif dikarenakan:
a.     Semasa kanak-kanak mereka belajar nilai-nilai tersebut secara universal dan absolut
Nilai-nilai tersebut tidak dapat dikompromikan sebab pada masa kanak-kanak tidak mengerti  bahwa sesuatu itu bagus kecuali kalau ia dibimbing untuk mempercayai bahwa nilai-nilai tersebut bagus untuk semua orang dimanapun. Sebagai contoh berdusta/berbohong, mungkin dianggap salah secara umum tetapi dibenarkan pada kesempatan tertentu karena sebagian besar begitu sukar untuk dipahami seorang anak.
b.    Nilai-nilai tersebut sebagian besar telah diserap tanpa disadari dalam proses enkulturasi. Nilai-nilai itu telah memasuki kepribadian orang dewasa dan telah berperan besar dalam membentuk kepribadian seseorang.
Nilai-nilai yang disetujui oleh semua anggota sebuah kebudayaan cenderung berifat sangat umum dan karena itu sukar untuk disadari secara penuh seperti contohnya pada orang-orang amerika yang hampir semuanya setuju bahwa semua orang harus memperoleh kesempatan yang sama untuk merealisasikan bakat-bakatnya, bahwa semua orang harus mempunyai hak-hak dan kebebasan tertentu seperti kebebasan beragama, dan persamaan dimuka hukum.

        2.     Tiga Isu Untuk Pendidikan
a.     Kebudayaan Ideal dan kebudayaan Nyata
Kebudayaan ideal adalah kebudayaan yang  pantas disetujui oleh masyarakat dan dilestarikan dan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia sedangkan Kebudayaan Nyata adalah kebudayaan yang terlihat dan aktual  mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia.

·         Konflik dalam kebudayaan
Tidak ada satu kebudayaan yang terintegrasi secara penuh  kebudayaan ideal pasti akan bebeda dari praktek-prakteknya. Setiap kebudayaan mengesahkan bagi anggota-anggotanya cita-cita tertentu dan norma-norma tertentu. Namun karena sebuah kebudayaan telah mengesahkan norma-norma tertentu hal tersebut tidaklah berarti bahwa norma-norma tersebut  selalu dipenuhi dan kemudian satu kebudayaan menekankan kepada anggota-anggotanya untuk memusatkan perhatian kepada tujuan-tujuan dan makin kurang menekankan norma-norma untuk mencapainya, dengan demikian kebudayaan diancam dis-organisasi sampai mungkin mencapai suatu keadaan yang dinamakan Durkhen-anomi atau keadaan tanpa norma.
·         Konflik dalam pendidikan
Konflik  yang terjadi dalam dunia pendidikan ini berpusat pada proses pembelajaran dalam menyampaikan nilai-nilai kebudayaan dan tujuan anak-anak yang salah didik terkhusus dalam lingkungan sekolah.

b.    Nilai-Nilai Tradisional dan Nilai-Nilai Baru
Nilai-nilai tradisional adalah nilai-nilai yang masih tidak dipengaruhi dengan perkembangan IPTEK  sedangkan nilai-nilai baru adalah nilai-nilai yang dipengaruhi dengan perkembangan IPTEK

·         Konflik dalam Kebudayaan
Konflik yang terjadi adalah yaitu berpusat pada ketika kebudayaan itu berubah yang menimbulkan pertentangan antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya terhadap nilai-nilai tradisional dan nila-nilai baru
·         Konflik dalam pendidikan
Konflik yang terjadi berfokus pada kecenderungan guru-guru melakukan proses belajar mengajar atau dalam mendidik masih menggunakan nilai-nilai tradisional terkhusus pada guru-guru tua tidak sama dengan guru-guru muda.

c.     Nilai-nilai Dominan dan Nilai-nilai Minoritas
Nilai-nilai dominan adalah  nilai yang dianggap lebih penting daripada nilai lainnya sedangkan nilai-nilai minoritas adalah nilai yang secara umum tidak dianggap penting daripada nilai-nilai lainnya atau nilai-nilai yang tidak dominan.
·         Konflik dalam Kebudayaan
Secara umum konflik dalam kebudayaan yang terjadi adalah berfokus pada budaya kelas menengah, banyak orang dipisahkan dari kebudayaan tersebut oleh kemiskinan, ras dan kekurangan pendidikan.
·         Konflik dalam Pendidikan
Secara umum konflik pendidikan yang terjadi adalah berfokus pada pada nilai-nilai kelas menengah yang secara tidak langsung menekan anak-anak dalam proses pembelajaran dan dalam berkomunikasi dengan orang lain.

           d.    Nilai-nilai Budaya dan Pemikiran Pendidikan
·         Aliran Progresif
Pendidik progresif mengemukakan bahwa karena semua hal dan semua masyarakat berubah dan karena tidak ada sifat manusia yang kekal, semua nilai seyogyanya bersifat sementara. Pendidik progresif mempercayai bahwa dalam sebuah masyarakat demokrasi yang plural sekolah tidak dapat secara langsung  mendiktekan bagaimana bentuk hirarki nilai-nilai siswa-siswa seharusnya.
·         Aliran Konservatif
Pandangan konservatif tentang niali-nilai mempunyai dua bentuk yaitu perenialis dan essensialis. Kaum perenialis mempercayai suatu hirarki nilai yang absolut, mempertahankan, bertentangan dengan praktek sekarang adalah tugas sekolah untuk menanamkan nilai-nilai itu, kaum esensialis menyebutkan bahwa meskipun sekolah tidak harus memberikan pendidikan moral secara terbuka, namun demikian dalam memperkembang intelek sekolah menanamkan nilai-nilai moral yang penting dari kejujuran intelektual dan berfikir reflektif.


DAFTAR PUSTAKA
Abd. Shomad. 2009. Selayang Pandang tentang Antropoplogi Pendidikan Islam. http://uin-suka.info/enjurnal/index2.php?option=com_content&do-pdf=1&id=88
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati. 2001. Ilmu Pendidikan. Jakarta:Rineka Cipta.
Abu Ahmadi.1984. Pengantar Sosiologi. Sala: Ramadhani.
Ary H Gunawan. 2006. Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis tentang Pelbagai Problem Pendididikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaerudin, dkk.1995. Materi Pokok Pendidikan IPS 1. Jakarta: Universitas Terbuka.
Hasojo.1984. Pengantar Antropologi. Bandung: Bina Cipta.
Koentjaraningrat.1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Lucky Zamzami. tt. Antropologi Pendidikan: Suatu Pengantar.
Nasution. 2004. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Ngalim Purwanto. 1995. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Sanapiah Faisal dan Nur Yasik. tt. Sosiologi Pendidikan. Surayaba: Usaha Nasional.
Soerjono Soekanto.1989. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Suwarno. 1992. Pengantar Umum Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
UU Republik Indonesia SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003.


*********
Semoga bermanfaat.

dosen pengampu: dakhandayani