III.
Client
Centered Therapy
1. Latar Belakang Sejarah
Carl
Ransom Rogers (1902-1987) pada awal tahun 1940 (Corey 1986:100; Corey 1995:
291-294) pada awal tahun 1940 mengembangkan teori yang disebut non-directive
counseling (konseling non-direktif) sebagai reaksi atas pendekatan yang
direktif dan pendekatan psikoanalitik. Teorinya adalah sebagai reaksi atas
pendekatan yang direktif dan pendekatan psikoanalitik. Rogers menentang asumsi
dasar bahwa “konselor tahu apa yang terbaik“. Dia juga menentang kesahihan dari prosedur terapeutik yang telah secara
umum bisa diterima seperti nasehat, saran, himbauan, pemberian pengajaran,
diagnosis, dan tafsiran. Didasarkan pada keyakinannya bahwa konsep dan prosedur
diagnostik kurang memadai, berprasangka, dan sering kali disalahgunakan, maka
pendekatannya tidak dengan menggunakan cara tersebut. Konselor non-direktif
menghindar dari usaha untuk melibatkan dirinya dengan urusan klien, dan sebagai
gantinya mereka memfokuskan terutama pada merefleksi dan komunikasi verbal dan
non-verbal dari klien. Asumsi dasarnya adalah bahwa orang itu secara
esensial bisa dipercaya, memiliki potensi yang besar untuk memahami dirinya dan
menyelesaikan masalah mereka tanpa intervensi langsung dari pihak terapis, dan
bahwa mereka ada kemampuan untuk tumbuh sesuai dengan arahan mereka sendiri
apabila mereka terlibat dalam hubungan terapeutik. Sejak semula ia menekankan
kepada sikap dan karakteristik pribadi terapis dan kualitas hubungan klien
sebagai penentu utama dalam prosedur terapeutik. Secara konsisten ia
mengarahkan kepada posisi yang sekunder seperti pengetahuan terapis tentang
teori dan teknik.
Non-directive
counseling tersebut oleh Rogers didasarkan pada
konsep psikologi humanistik yang juga dapat diklasifikasikan sebagai cabang
perspektif eksistensialis.
Rogers
(dalam Corey 1988) memandang manusia
sebagai individu yang tersosialisasi dan bergerak ke depan, berjuang untuk
berfungsi sepenuhnya, serta memiliki kebaikan yang positif. Dengan asumsi
tersebut pada dasarnya manusia dapat dipercayai, kooperatif dan konstruktif,
tidak perlu ada pengendalian terhadap dorongan-dorongan agresifnya. Implikasi
dari pandangan filosofis seperti ini, Rogers menganggap bahwa individu memiliki
kesanggupan yang inheren untuk menjauhi maladjustment menuju ke kondisi
psikologis yang sehat, konselor meletakkan tanggung jawab utamanya dalam proses
terapi kepada klien. Oleh karena itu konseling client-centered berakar
pada kesanggupan klien untuk sadar dan membuat keputusan-keputusan, sebab klien
merupakan orang yang paling tahu tentang dirinya, dan pantas menemukan tingkah
laku yang pantas bagi dirinya.
2. Pandangan tentang Manusia
Pandangan Rogers tentang
manusia, bahwa secara filosofis inti sifat manusia adalah positif, sosial,
berpandangan ke depan dan realistis, baik, dan dapat mengaktualisasikan dirinya
dengan baik. Aktualisasi diri dipandang sebagai pengalaman kemanusiaan yang
paling berarti, sehingga dengan mengaktualisasikan dirinya, manusia dapat menikmati
segala aspek kehidupannya. Tingkah laku manusia diorganisasikan secara
keseluruhan di sekitar tendensi manusia berbuat sesuatu. Pola perilaku manusia
ditentukan oleh kemampuan untuk membedakan antara respon yang efektif
(menghasilkan rasa senang) dan respon yang tidak efektif (menghasilkan rasa
tidak senang). Di samping itu pada dasarnya manusia itu kooperatif,
konstruktif, dapat dipercaya, memiliki tendensi dan usaha mengaktualisasikan
dirinya, berprestasi, dapat mempertahankan dirinya sendiri, mampu memilih
tujuan yang benar dalam keadan bebas dari ancaman. Sehingga individu dapat men “take charge” kehidupannya,
membuat keputusan, berbuat baik, dan bertanggung jawab terhadap apa yang telah
diputuskannya.
(Ivey dan Downing, 1980, Corey, 1986, Capuzzi dan Gross, 1995)
Pada sisi lain Rogers memandang manusia adalah sebagai
makhluk sosial, berkembang, rasional dan realistis. Manusia adalah subjek yang utuh, aktif, dan unik. Dalam hal
ini Rogers (dalam Bischof, 1964 :336-339) mengemukakan sembilan belas dalil
tentang kepribadian manusia yaitu sebagai berikut:
1.
Setiap manusia berada
dalam dunianya yaitu dunia pengalamannya masing-masing yang senantiasa berubah
secara kontinyu dan individu adalah merupakan pusatnya.
2.
Organisme bereaksi
terhadap medan phenomenalnya sebagaimana yang dialami dan diamatinya.
Hasil reaksi tersebut disebut medan persepsi bagi masing-masing individu
berbeda, dan kemudian disebut sebagai realitas.
3.
Organisme bereaksi sebagai
suatu kesatuan yang teratur dan terorganisir terhadap medan phenomenalnya.
4.
Setiap organisme memiliki
suatu tendensi atau kecenderungan dasar dan dorongan dasar untuk
mengaktualisasikan diri, mempertahankan
dan mengembangkan dirinya.
5.
Tingkah laku pada dasarnya
adalah merupakan usaha organisme untuk mencapai tujuan dalam usahanya
memperoleh kepuasan yang dibutuhkan sebagaimana yang dialami dalam medan
persepsinya.
6.
Emosi erat kaitannya
dengan perncapaian tujuan organisme yang dapat tercermin dalam tingkah laku.
Intensitas emosi dapat mempengaruhi cara organisme mempertahankan dan
mengembangkan diri.
7.
Cara yang terbaik untuk
memahami tingkah laku individu adalah melalui “internal frame of reference”
individu itu sendiri.
8.
Sebagian dari keseluruhan
medan persepsi secara gradual akan terdeferensiasi dan menjadi konsep self yang
mempengaruhi cara individu bertingkah la ku.
9.
Self dan organisme adalah merupakan dua sistem yang mengatur
tingkah laku dan dapat bekerja sama secara harmonis atau dapat pula
bertentangan. Penyesuaian (adjustment) akan dapat tercapai apabila kerja
sama antara kedua sistem ini harmonis.
10.
Penyesuaian salah (maladjustment)
akan terjadi apabila individu di dalam mengamati dan menerima pengalaman
organisme juga dimasuki dan dipengaruhi oleh “introyeksi” yang salah yang
seolah-olah dialaminya sendiri untuk terbentuk menjadi konsep self dan
semakin berkembang menjadi suatu proses penilaian yang berlanjut.
11.
Penyesuaian psikologis
yang sehat akan terjadi apabila individu ketika mengamati dan menerima suatu
pengalaman yang dilihat dan dirasakan, akan dihubungkan serta dilambangkan
secara konsisten sesuai dengan konsep selfnya sehingga individu akan
mampu menerima dan mengerti apa bahwa setiap individu berbeda.
12.
Penyesuaian psikologis
yang tidak sehat (salah) terjadi apabila individu tidak memperdulikan, tidak
melambangkan dan tidak mengorganisasikan semua pengalaman yang dilihat dan
dirasakan, ke dalam struktur self secara
keseluruhan, keadaan ini merupakan dasar yang potensial ke arah berbagai
ketegangan psikologis.
13.
Dalam kondisi tertentu di
mana tidak ada ancaman apa pun terhadap konsep self, maka pengalaman
yang tidak sesuai dengan konsep self dapat diamati dan dihayati oleh
individu sehingga konsep self akan dapat berubah melalui asimilasi dan
berbagai masukan dari pengalaman yang diperoleh dari situasi dan kondisi
tersebut masuk ke dalam kesadaran.
14.
Self akan membentuk pertahanan terhadap pengalaman yang
dirasakan atau mengancam dengan cara merintangi atau menghalangi pengalaman
tersebut masuk ke dalam kesadaran.
15.
Sebagian besar cara
individu bertingkah laku akan sesuai dengan konsep selfnya.
16.
Tingkah laku yang tidak
sesuai dengan konsep self bukan merupakan milik individu.
17.
Pengalaman yang tidak
sesuai dengan konsep self akan diamati sebagai ancaman sehingga individu
akan mempertahankan pengalaman tersebut masuk ke dalam konsep self secara
kaku.
18. Dalam kehidupan individu, apabila menghadapi suatu
pengalaman, maka akan terhadi tiga kemungkinan yaitu :
a)
Pengalaman akan
dilambangkan, diamati, dan diorganisasikan ke dalam konsep self.
b)
Pengalaman akan ditolak
karena tidak adapat diterima oleh self.
c)
Pengalaman akan diabaikan
atau dilambangkan dalam bentuk lain karena tidak sesuai dengan konsep self.
19. Konsep self akan cenderung berubah ke arah
pembentukan nilai-nilai yang sesuai dengan berbagai pengalaman baru.
Di samping itu Rogers berpijak pada beberapa keyakinan
dasar tentang martabat manusia dan hakikat kehidupan manusia yang disarikan Winkel (1991) sebagai berikut:
a.
Setiap manusia berhak
mempunyai pandangan-pandangan sendiri dan menentukan haluan hidupnya sendiri,
serta bebas mengejar kepentingannya sendiri selama tidak melanggar hak-hak
orang lain. Kehidupan masyarakat akan berkembang bila setiap warga masyarakat
didorong dan dibantu untuk mengembangkan diri sebagai pribadi yang mandiri dan
mampu mengatur kehidupannya sendiri. Hal ini berarti bahwa
masing-masing orang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pengaturan hidupnya
dalam lingkungan masyarakat tertentu.
b.
Manusia
pada dasarnya berakhlak baik, dapat diandalkan, dapat diberi kepercayaan, dan
cenderung bertindak secara konstruktif. Naluri manusia berkeinginan baik, bagi
dirinya sendiri maupun orang lain. Rogers berpandangan optimis terhadap daya
kemampuan yang terkandung dalam batin manusia. Kalau manusia bertindak dengan
cara yang tidak baik, seperti menipu, mencelakakan orang lain karena benci, dan
berbuat sadis dikarenakan usaha membela diri, telah menjauhkan seseorang dari
nalurinya yang paling dasar. Bilamana seseorang dapat menemukan kembali
nalurinya yang asli, usaha membela diri akan berkurang dan tindakan-tindakannya
akan lebih konstruktif.
c.
Manusia,
seperti makhluk hidup lainnya, membawa dirinya sendiri ke manapun dia berada.
Dia memiliki kemampuan, dorongan, dan kecenderungan untuk mengembangkan diri
seoptimal mungkin. Arah hidup yang dikejar seseorang bercorak sedemikian rupa
sehingga orang berkembang menikmati kesehatan mental yang baik, dapat membawa
diri dalam masyarakat secara memuaskan, merealisasikan potensi-potensi yang
dimilikinya, serta berhasil hidup secara mandiri. Kemampuan, dorongan, serta
kecenderungan di atas disebut sebagai actualizing
tendency dan merupakan kekuatan motivasional yang utama
dan paling dasar, yang menggerakkan individu untuk mengejar kemandirian dalam
hidupnya tanpa menggantungkan dirinya kepada orang lain. Kemampuan,
d.
Kemampuan dorongan, serta
kecenderungan itu akan tampak dan beroperasi sepenuhnya bila tercipta
kondisi-kondisi yang memungkinkan kemampuan dan kecenderungan itu dalam rangka
mengaktualisasikan dirinya.
e. Cara
berperilaku seseorang dan cara menyesuaikan diri terhadap keadaan hidup yang
dihadapinya, selalu sesuai dengan pandangannya sendiri terhadap diri sendiri
dan keadaan yang dihadapi. Pandangan subjektif ini mendasari tingkah laku
manusia yang disebabkan oleh dirinya dan keadaan lingkungannya yang disesuaikan
dengan penilaiannya. Setiap manusia membangun suatu dunia subjektif, yaitu alam
pikiran, perasaan, kebutuhan, dan keinginan sendiri yang khas. Bangunan
subjektif tersebut hanya dirinya sendiri yang dapat menghayatinya ( experiental field, phenomenal field, internal
frame, internal frame of reference). Penghayatan dan kesadaran akan dirinya dengan semua perasaan,
pandangan, dan ingatan akan membentuk konsep diri (self concept).
f. Seseorang akan menghadapi persoalan jika di antara
unsur-unsur dalam gambaran terhadap dirinya sendiri timbul pertentangan-pertentangan,
terlebih antara siapa diri sebenarnya (real
self) dengan siapa seharusnya saya (ideal self).
3.
Konsep Kepribadian Sehat
Lima
sifat khas orang yang berfungsi sepenuhnya (fully
human being):
1.
Keterbukaan
pada pengalaman
Orang
yang berfungsi sepenuhnya adalah orang yang menerima semua pengalaman dengan
fleksibel sehingga selalu timbul persepsi baru. Dengan demikian ia akan
mengalami banyak emosi (emosional) baik yang positip maupun negatip.
2.
Kehidupan
Eksistensial
Kualitas
dari kehidupan eksistensial dimana orang terbuka terhadap pengalamannya
sehingga ia selalu menemukan sesuatu yang baru, dan selalu berubah dan
cenderung menyesuaikan diri sebagai respons atas pengalaman selanjutnya.
3.
Kepercayaan
terhadap organisme orang sendiri
Pengalaman
akan menjadi hidup ketika seseorang membuka diri terhadap pengalaman itu
sendiri. Dengan begitu ia akan bertingkah laku menurut apa yang dirasanya benar
(timbul seketika dan intuitif) sehingga ia dapat mempertimbangkan setiap segi
dari suatu situasi dengan sangat baik.
4.
Perasaan
Bebas
Orang
yang sehat secara psikologis dapat membuat suatu pilihan tanpa adanya paksaan -
paksaan atau rintangan - rintangan antara alternatif pikiran dan tindakan.
Orang yang bebas memiliki suatu perasaan berkuasa secara pribadi mengenai
kehidupan dan percaya bahwa masa depan tergantung pada dirinya sendiri, tidak
pada peristiwa di masa lampau sehingga ia dapat meilhat sangat banyak pilihan
dalam kehidupannya dan merasa mampu melakukan apa saja yang ingin dilakukannya.
5.
Kreativitas
Keterbukaan diri terhadap pengalaman dan kepercayaan kepada organisme mereka sendiri akan mendorong seseorang untuk memiliki kreativitas dengan ciri - ciri bertingkah laku spontan, tidak defensif, berubah, bertumbuh, dan berkembang sebagai respons atas stimulus-stimulus kehidupan yang beraneka ragam di sekitarnya.
Keterbukaan diri terhadap pengalaman dan kepercayaan kepada organisme mereka sendiri akan mendorong seseorang untuk memiliki kreativitas dengan ciri - ciri bertingkah laku spontan, tidak defensif, berubah, bertumbuh, dan berkembang sebagai respons atas stimulus-stimulus kehidupan yang beraneka ragam di sekitarnya.
2.
Tujuan Konseling
Secara
umum tujuan dari konseling ini adalah untuk memfokuskan diri klien pada
pertanggungjawaban dan kapasitasnya dalam rangka menemukan cara yang tepat
untuk menghadapi realitas yang dihadapi klien (Corey, 1986) atau dengan kata
lain membantu klien agar berkembang secara optimal sehingga mampu menjadi
manusia yang berguna. (Sukardi, 1984).
Sedangkan
secara terinci tujuannya adalah sebagai berikut :
1.
Membebaskan klien dari
berbagai konflik psikologis yang dihadapinya.
2.
Menumbuhkan kepercayaan pada
diri klien, bahwa ia memiliki kemampuan untuk mengambil satu atau serangklaian
keputusan yang terbaik bagi dirinya sendiri tanpa merugikan orang lain.
3.
Memberikan kesempatan
seluas-luasnya kepada klien untuk belajar mempercayai orang lain, dan memiliki
kesiapan secara terbuka untuk menerima berbagai pengalaman orang lain yang
bermanfaat bagi dirinya sendiri.
4. Memberikan
kesadaran kepada klien bahwa dirinya adalah merupakan bagian dari suatu lingkup
sosial budaya yang luas, walaupun demikian ia tetap masih memiliki kekhasan
atau keunikan tersendiri.
5. Menumbuhkan
suatu keyakinan kepada klien bahwa dirinya terus tumbuh dan berkembang (Process
of becoming). (Sukardi. 1984)
3.
Pandangan terhadap Klien
Carl
Rogers memandang manusia, dalam hal ini klien, dengan berorientasi kepada
filsafat humanistik, yaitu :
1.
Inti sifat manusia adalah
positif, sosial, menuju ke muka, dan realistik. Yang berarti pada dasarnya
manusia itu bersifat positif, rasional, sosial, bergerak maju, dan
realistik.tingkah laku manusia diorganisir secara keseluruhan di sekitar
tendensi, dan polanya ditentukan oleh kemampuan untuk membedakan antara respon
yang efektif (menghasilkan rasa senang) dan respon yang tidak efektif
(menimbulkan rasa tidak senang).
2.
Manusia pada dasarnya adalah
kooperatif, konstruktif dan dapat dipercaya.
3.
Manusia memiliki tendensi dan
usaha dasar untuk mengaktualisasi pribadi, berprestasi, dan mempertahankan
diri.
4.
Manusia memiliki kemampuan
dasar untuk memilih tujuan yang benar, dan membuat pilihan yang benar, apabila
ia diberi situasi yang bebas dari ancama. (Sukardi, 1984)
4.
Fungsi dan
Peran Terapis
Peran terapis mengakar pada cara mereka berada dan
bersikap, bukan ditekankan pada sisi teknik. Sikap terapis yang menjadi
fasilitator terhadap perubahan pribadi pada klien, pada dasarnya terapis
menggunakan dirinya sebagai instrumen perubahan. Manakala
terapis berhadapan dengan klien, maka peran terapis menjadi orang yang tidak
memegang peran. Fungsi terapis adalah menciptakan iklim terapeutik yang bisa
membantu klien untuk tumbuh. Peran terapis di sini adalah menciptakan hubungan
yang bersifat menolong di mana klien bisa mengalami kebebasan yang diperlukan
dalam rangka menggali kawasan kehidupannya yang saat ini berada dalam kondisi
inkongruen.(Corey, 1986, Ivey dan Downing, 1980)
Sikap
terapis yang menunjukkan kepedulian, ikhlas, menghargai, menerima, dan mengerti
keberadaan klien saat ini. Klien diharapkan mampu mengubah sikap defensif dan
berperilaku kaku serta bergerak ke arah keberfungsian pribadi klien yang
sebenarnya. (Corey, 1986)
Peran
terapis dalam membina hubungan dengan klien adalah sangat penting. Terapis sebisa mungkin membatasi diri untuk mengintervensi
klien dengan tidak memberikan nasihat, pedoman, kritik, penilaian, tafsiran,
rencana, harapan, dan sebagainya, sehingga dia hanya berperan sebagai
fasilitator dalam proses konseling. (Corey, 1986)
Rogers
( dalam Capuzzi dan Gross, 1995) juga
menerangkan bahwa peran konselor client-centered adalah sebagai
berikut :
1.
Menyediakan
kondisi terapeutik agar klien dapat menolong dirinya dalam rangka
mengaktualisasikan dirinya.
2.
Memberikan penghargaan yang
positif yang tidak terkondisi bagi klien.
3.
Mendengarkan dan mengobservasi
lebih jauh untuk mendapatkan aspek verbal dan emosional klien.
4.
Memberikan pemahaman empatik
untuk melihat kekeliruan dan inkongruensi yang dialami oleh klien.
5.
Peduli dan ramah.
Oleh karena itu tugas utama terapis adalah memahami
dunia klien sekomprehensif mungkin dan mendorong klien untuk bertanggung jawab
terhadap perbuatan dan keputusan yang diambilnya.
Untuk memahami hal tersebut di atas maka terapis harus
memiliki sikap sebagai berikut :
1.
Menerima
(acceptance), sikap yang ditujukan kepada klien agar mau terbuka dan
dapat melihat, menerima, dan mengembangkan dirinya sesuai dengan keadaan
realistis dirinya.
2.
Kehangatan
(warmth), agar klien merasa aman dan memiliki penilaian yang lebih
positif tentang dirinya.
3.
Tampil
apa adanya (genuine). Kewajaran yang ditampilkan oleh konselor kepada
klien akan membantu proses konseling. Klien memiliki kesan yang positif
terhadap konselor. Diharapkan klien dapat memandang konselor bahwa konselor
sungguh-sungguh berniat membantu klien dan klien dapat percaya serta dapat
terbuka dalam menyampaikan permasalahannya.
4.
Empati (emphaty),
yaitu menempatkan diri dalam kerangka acuan batiniah (internal frame of
reference).
5.
Penerimaan
tanpa syarat (unconditional positive regard), sikap penghargaan tanpa
syarat ataupun tuntutan yang ditunjukkan oleh konselor betapapun negatifnya
sikap klien akan sangat bermanfaat dalam proses bantuan ini.
6.
Keterbukaan
(transparancy), penampilan konselor yang terbuka pada saat terapi maupun
dalam keseharian konselor merupakan hal yang sangat penting bagi klien untuk
mempercayai dan menimbulkan rasa aman terhadap sesuatu yang disampaikan klien.
7.
Kongruensi
(congruence), konselor dan klien berada dalam posisi yang sejajar dalam
hubungan terapi yang sehat. Sedangkan kualitas konselor bergantung kepada
keikhlasan, empati, kehangatan, akurasi, respek, sikap permisif, dan kongruen
dalam hubungan terapeutik ini. (Ivey dan Dawning, 1980, Corey, 1986, Capuzzi
dan Gross, 1995)
Dalam konseling ini ada beberapa fungsi yang perlu
dipenuhi oleh seorang terapis, yaitu :
1 Menciptakan hubungan yang permisif, terbuka, penuh
pengertian dan penerimaan agar klien bebas mengemukakan masalahnya.
2 Mendorong kemampuan klien untuk melihat berbagai
potensinya yang dapat menjadi acuan dalam pengambilan keputusan.
3 Mendorong klien agar ia yakin bahwa ia mampu
menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
4 Mendorong klien agar ia mampu mengambil keputusan dan
ber-tanggungjawab sepenuhnya atas keputusan yang telah ditetapkannya. (Corey,
1986)
6. Pengalaman
Klien Dalam Proses Bantuan
Perubahan yang terjadi dalam
proses terapeutik bergantung pada persepsi klien, baik pada pengalamannya
sendiri dalam kegiatan terapi maupun sikap dasar terapis. Apabila terapis
menciptakan iklim yang kondusif untuk eksplorasi diri, maka klien berkesempatan
untuk mengalami dan mengeksplorasi perasaannya secara keseluruhan.(Corey, 1986)
Alasan dasar klien menginginkan
terapi adalah rasa ketidakberdayaan yang mendasar, tidak memiliki kekuasaan dan
ketidakmampuan untuk mengambil keputusan secara efektif serta kesulitan klien
dalam mengarahkan hidupnya. Mereka berharap bisa menemukan jalan setelah
mendapatkan pengajaran dari terapis. Namun pada konseling client-centered, mereka
akan mengerti bahwa dalam kaitannya dengan permasalahan tersebut sebenarnya
klien bisa bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Mereka bisa belajar untuk
dapat lebih merdeka dengan menggunakan hubungan konseling ini. Klien bisa lebih
baik dalam memahami dirinya sendiri. (Corey, 1986)
Klien akan dapat
mengaktualisasikan dirinya dalam peoses terapeutik ini karena mereka dilengkapi
dengan kondisi-kondisi yang memungkinkan mereka untuk tumbuh. Mereka akan
menggali kesulitan-kesulitan mereka dan kompetensi natural dalam lingkungannya
yang produktif, di mana mereka akan berperan penting terhadap potret diri
mereka sendiri dan melihat potensinya secara jelas. Mereka akan berbuat lebih
akurat, lebih baik, dan kongruen. Mereka akan lebih percaya diri, lebih
memahami dirinya sendiri, dan dapat menentukan keputusan yang terbaik bagi
dirinya. (Capuzzi dan Gross, 1995).
Dalam hal ini konselor harus
memperhatikan pengalaman klien yang merupakan salah satu bagian dari proses
konseling yang dilakukan yaitu :
1. Klien
merasa aman dan terbuka dalam mengemukakan masalahnya.
2. Klien
merasa tenteram dan bebas dalam mengekspresikan keinginan-keinginannya, dan
rencana-rencananya yang berkaitan dengan terbantunya dia dalam memecahkan
permasalahan yang dihadapinya.
3. Klien
meyakini bahwa pilihannya benar, dan ia berusaha untuk mengambil semua resiko
yang berkaitan dengan keyakinannya.
4.
Klien
mantap dengan keputusan yang diambilnya, termasuk konsekwensi atas
keputusannya. (Corey, 1986)
Dalam
hubungan konseling, diharapkan konselor dapat memahami sifat-sifat kliennya
secara baik. Karena pada hakikatnya klien adalah sebagai individu yang memiliki
keunikan tersendiri, di samping mempunyai kesamaan.
Proses
ini sebagai suatu bentuk pendekatan yang memberikan keleluasaan dan kebebasan
kepada klien yang memiliki sifat-sifat : agresif, terbuka, terus terang, serta
memiliki kemampuan untuk mengungkapkan permasalahannya secara terus terang,
bebas, dan lancar. (Sukardi, 1984)
7. Hubungan antara Terapis dengan Klien
Rogers (dalam Ivey dan Downing,
1980, Corey, 1986) mensyaratkan enam kondisi yang diperlukan dalam menciptakan
hubungan antar keduanya dalam rangka menciptakan perubahan kepribadian:
1.
Ada dua orang dalam kontak psikologis
2.
Orang pertama disebut klien, orang yang mengalami
inkongruensi.
3.
Orang kedua, disebut konselor, adalah orang yang
kongruen yang dapat mengaktualisasikan dirinya.
4.
Terapis memberikan perhatian positif (unconditional
positive regard) dan peduli terhadap klien.
5.
Terapis mengalami pemahaman empatik terhadap ukuran internal klien untuk
membentuk sikap atau keputusan dan usaha untuk mengomunikasikannya dengan
klien.
6.
Komunikasi klien kepada konselor yang berupa pemahaman
empatik dan penghargaan positif tanpa syarat adalah dalam rangka pencapaian
derajat minimal.
Dalam perspektif Rogers hubungan
klien berciri kesamaan derajat, karena terapis tidak merahasiakan
pengetahuannya atau berusaha untuk menjadikan proses terapeutik sebagai suatu
hal sifatnya bukan mistis dalam rangka proses perubahan yang ada dalam diri
klien.
8. Teknik Konseling
Rogers (dalam Corey, 1986) menekankan bahwa yang
terpenting dalam proses konseling ini adalah filsafat dan sikap konselor, bukan
pada teknik yang didesain untuk membuat klien “berbuat sesuatu”. Pada dasarnya
teknik itu menggambarkan implementasi filsafat dan sikap, yang harus konsisten
dengan filsafat dan sikap konselor. Dengan adanya perkembangan yang menekankan
filsafat dan sikap ini maka ada perubahan-perubahan di dalam frekuensi penggunaan
bermacam teknik misalnya: bertanya, penstrukturan, interpretasi, memberi saran
atau nasihat.
Teknik-teknik tersebut sebagai cara untuk mewujudkan dan
mengkomunikasikan acceptance, understanding, menghargai, dan
mengusahakan agar klien mengetahui bahwa konselor berusaha mengembangkan internal
frame of reference klien dengan cara konselor mengikuti fikiran, perasaan
dan eksplorasi klien, yang merupakan teknik pokok untuk menciptakan dan
memelihara hubungan konseling. Oleh karenanya
teknik-teknik tersebut tidak dapat digunakan secara self compulsy (dengan
sendirinya) bila konselor tidak tahu dalam menggunakan teknik-teknik tersebut.
Dengan demikian proses konseling ditinjau dari pandangan klien dari pengamatan
dan perubahan yang terjadi di dalam diri klien, bisa juga dilihat dari sudut
pandang konselor berdasarkan bagaimana tingkah laku dan partisipasi konselor
dalam hubungan ini. (Ivey dan Downing, 1980, Capuzzi dan Gross, 1995, Rosjidan,
1985).
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Model Konseling Client Centered Therapy memiliki ciri dan kelebihannya sendiri. Model Konseling ini adalah jenis pendekatan yang berorientasi pada pendekatan kesiswaan atau pendekatan klien.
~dosen pengampu: dakhandayani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar