SOSIO
ANTROPOLOGI PENDIDIKAN
Oleh: dakhandayani
A.
PENDAHULUAN
Perkembangan sosiologi antropologi pendidikan di Indonesia diawali hanya sebagai ilmu pembantu belaka, namun seiring timbulnya perguruan tinggi dan kesadaran bahwa sosiologi antropologi pendidikan sangat penting dalam menelaah masyarakat Indonesia yang sedang berkembang maka sosiologi antropologi pendidikan menempati tempat yang penting dalam daftar kuliah di beberapa perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Oleh karena itu mengetahui dan memahami seluk beluk sosiologi antropolgi pendidikan sangat dianjurkan guna mendapatkan pengetahuan yang menunjang perkembangan ilmu itu sendiri dan aplikasinya dalm kehidupan baik sebagai mahluk individu maupun sebagai mahluk bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Perkembangan sosiologi antropologi pendidikan di Indonesia diawali hanya sebagai ilmu pembantu belaka, namun seiring timbulnya perguruan tinggi dan kesadaran bahwa sosiologi antropologi pendidikan sangat penting dalam menelaah masyarakat Indonesia yang sedang berkembang maka sosiologi antropologi pendidikan menempati tempat yang penting dalam daftar kuliah di beberapa perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Oleh karena itu mengetahui dan memahami seluk beluk sosiologi antropolgi pendidikan sangat dianjurkan guna mendapatkan pengetahuan yang menunjang perkembangan ilmu itu sendiri dan aplikasinya dalm kehidupan baik sebagai mahluk individu maupun sebagai mahluk bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sosiologi pendidikan merupakan disiplin ilmu yang relatif baru, berkembang di awal abad 20 dan mengalami hambatan dalam perkembangannya, karena dianggap dapat dipelajari atau merupakan salah satu sub dalam pembahasan sosiologi.
1. SEJARAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Kata atau istilah
”sosiologi” pertama-tama muncul dalam salah satu jilid karya tulis Auguste
Comte (1978 – 1857) yaitu di dalam tulisannya yang berjudul ”Cours de
philosophie Positive.” Oleh Comte, istilah sosiologi tersebut disarankan
sebagai nama dari suatu disiplin yang mempelajari ”masyarakat” secara ilmiah.
Dalam hubungan ini, ia begitu yakin bahwa dunia sosial juga ”berjalan mengikuti
hukum-hukum tertentu” sebagaimana halnya dunia fisik atau dunia alam (Faisal
dan Yasik, tt:11).
Berdasarkan hal diatas,
kita tahu bahwa Comte meyakini dunia sosial juga dipelajari dengan metode yang
sama sebagaimana digunakan untuk mempelajari dunia fisik atau kealaman. Dan
bidang kajian sosiologi pendidikan sendiri, berangkat dari keinginan para
sosiologi untuk menyumbangkan pemikirannya bagi pemecahan masalah pendidikan.
Dalam pandangan mereka, pada saat itu sosiologi pendidikan diasosiasikan dengan
konsep ”Educational Sociology.”
Dalam perkembangannya,
pada tahun 1914 sebanyak 16 lembaga pendidikan menyajikan mata kuliah ”Educational
Sociology” pada periode berikutnya, muncul berbagai buku yang memuat bahasan
mengenai ”Educational Sociology,” termasuk juga berbagai konsep tentang
hubungan antara sosiologi dengan pendidikan. Selama puluhan tahun pertama,
perkembangan sosiologi pendidikan berjalan lamban. Perkembangan signifikan
sosiologi pendidikan ditandai dengan diangkatnya Sir Fred Clarke sebagai
Direktur Pendidikan Tinggi Kependidikan di London pada tahun 1937. Clarke
menganggap sosiologi mampu menyumbangkan pemikiran bagi bidang pendidikan.
Sehubungan dengan
penamaan sosiologi pendidikan, terdapat perdebatan yang cukup tajam tentang
penggunaan istilah-istilah yang digunakan antara lain sociological approach to
education, educational sociology of education, atau the foundation. Pada
akhirnya dipilih istilah sociology of education dengan tekanan dan wilayah
tekanannya pada proses sosiologis yang berlangsung dalam lembaga pendidikan. Adapun
perkembangan sosiologi di Indonesia diawali hanya sebagai ilmu pembantu belaka,
namun seiring timbulnya perguruan tinggi dana kesadaran bahwa sosiologi sangat
penting dalam menelaah masyarakat Indonesia yang sedang berkembang maka
sosiologi yang salah satunya adalah sosiologi pendidikan menempati tempat yang
penting dalam daftar kuliah di beberapa perguruan tinggi di seluruh Indonesia.
2. PENGERTIAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Sosiologi pendidikan
terdiri dari dua kata, sosiologi dan pendidikan. Dilihat dari istilah etimologi
kedua kata ini tentu berbeda makna, namun dalam sejarah hidup dan kehidupan
serta budaya manusia, keduanya menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan,
terutama dalam sistem memberdayakan manusia dimana sampai saat ini memanfaatkan
pendidikan sebagai instrumen pemberdayaan tersebut.
a.
SOSIOLOGI
Secara etimologis sosiologi berasal dari
kata latin “socius” dan kata Yunani “logos”. “Socius” berarti kawan, sahabat,
sekutu, rekan, masyarakat. “logos” berarti ilmu. Jadi sosiologi adalah ilmu
yang mempelajari tentang masyarakat. (Chaerudin, dkk, 1995:67).
Dari segi isi, banyak ahli sosiologi
mengemukakan berbagai definisi. Kita ambil sejumlah definisi untuk memberi
gambaran tentang sosiologi.
W.F. Ogburn dan M.F. Nimkoff dalam buku mereka “A Handbook of Sociology”, memberikan definisi sosology is the scientific of social life; yang maksudnya : sosiologi adalah studi secara ilmiah terhadap kehidupan sosial. (Ahmadi, 1984:9)
W.F. Ogburn dan M.F. Nimkoff dalam buku mereka “A Handbook of Sociology”, memberikan definisi sosology is the scientific of social life; yang maksudnya : sosiologi adalah studi secara ilmiah terhadap kehidupan sosial. (Ahmadi, 1984:9)
Roucek dan Wafren : Sosiologi adalah ilmu
yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok. (Soekanto,
1989:16).
Menurut Ibnu Chaldun, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang masyarakat manusia dalam bentuknya yang bermacam-macam, watak dan ciri-ciri dari pada tiap-tiap bentuk itu dan hukum yang menguasai perkembangan. Sementara Prof. Groenman mendefinisikan sosiologi sebagai suatu ilmu yang mempelajari tindakan-tindakan manusia dalam usahanya menyesuaikan diri dalam suatu ikatan. Penyesuaian ini meliputi:
Menurut Ibnu Chaldun, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang masyarakat manusia dalam bentuknya yang bermacam-macam, watak dan ciri-ciri dari pada tiap-tiap bentuk itu dan hukum yang menguasai perkembangan. Sementara Prof. Groenman mendefinisikan sosiologi sebagai suatu ilmu yang mempelajari tindakan-tindakan manusia dalam usahanya menyesuaikan diri dalam suatu ikatan. Penyesuaian ini meliputi:
1) menyesuaikan diri terhadap lingkungan
geografi
2) menyesuaikan diri pada sesama manusia
3) penyesuaian diri dengan lingkungan
kebudayaan sekelilingnya
(Ahmadi, 1989:9-10).
(Ahmadi, 1989:9-10).
Dari rumusan diatas kita dapat menarik
kesimpulan, yaitu bahwa sosiologi adalah:
a) merupakan hidup bermasyarakat dalam arti
yang luas
b) perkembangan masyarakat di dalam segala
aspeknya
c) hubungan antar manusia dengan manusia
lainya dalam segala aspeknya.
b.
PENDIDIKAN
Pendidikan (Paedegogic) berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari kata “pais”, artinya anak, dan ”again” diterjemahkan membimbing, jadi paedagogic yaitu bimbingan yang diberikan kepada anak.
Pendidikan (Paedegogic) berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari kata “pais”, artinya anak, dan ”again” diterjemahkan membimbing, jadi paedagogic yaitu bimbingan yang diberikan kepada anak.
Secara definitif pendidikan (paedagogic)
diartikan, sebagai berikut:
1) Jhon Dewey
Pendidikan
adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual
dan emosional ke arah alam dan sesama manusia (Ahmadi dan Uhbiyati, 2001:69).
2) Langeveld
Mendidik adalah mempengaruhi anak dalam membimbingnya supaya menjadi dewasa. Usaha membimbing adalah usaha yang disadari dan dilaksanakan, disengaja antara orang dewasa dengan anak yang belum dewasa (Suwarno, 1992:49)
Mendidik adalah mempengaruhi anak dalam membimbingnya supaya menjadi dewasa. Usaha membimbing adalah usaha yang disadari dan dilaksanakan, disengaja antara orang dewasa dengan anak yang belum dewasa (Suwarno, 1992:49)
3) Ki Hajar Dewantara
Mendidik
adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka
sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan
kebahagiaan yang setinggi-tinginya (Ahmadi dan Uhbiyati, 2001:69)
4) Undang-undang Republik Indonesia
SISDIKNAS No.20 tahun 2003
Pendidikan
adalah usaha dasar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual kegamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Berdasarkan uraian diatas, pendidikan pada
hakekatnya suatu kegiatan yang secara sadar dan disengaja, serta penuh tanggung
jawab yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak sehingga timbul interaksi
dari keduanya agar anak tersebut mencapai kedewasaan yang dicita-citakan dan
berlangsung terus-menerus.
c.
SOSIOLOGI
PENDIDIKAN
R.J. Stalcup mengemukakan bahwa sociology
of education merupakan suatu analisis terhadap proses-proses sosiologis yang
berlangsung dalam lembaga pendidikan. Tekanan dan wilayah telaahnya pada
lembaga pendidikan itu sendiri (Faisal dan Yasin, tt:39).
Beberapa pengertian sosiologi pendidikan
yang lain termuat dalam Nasution (2004: 4):
1) menurut George Payne, yang kerap disebut
bapak Sosiologi pendidikan, secara spesifik memandang sosiologi pendidikan
sebagai studi yang komprehensif tentang segala aspek pendidikan dari segala
segi ilmu yang dterapkan. Baginya, sosiologi pendidikan tidak hanya meliputi
segala sesuatu dalam bidang sosiologi yang dapat dikenakan sosiologis. Adapun
menurutnya adalah memberikan guru-guru, para peneliti yang efektif dalam
sosiologi yang dapat memberikan sumbangannya kepada pemahaman yang lebih mendalam
tentang pendidikan.
2) F.G Robbins dan Brown mengemukakan bahwa
sosiologi pendidikan adalah ilmu yang membicarakan dan menjelaskan
hubungan-hubungan sosial yang mempengaruhi individu untuk mendapatkan serta
mengorganisasikan pengalamannya. Sosiologi pendidikan juga mempelajari kelakuan
sosial serta prinsip-prinsip untuk mengontrolnya.
3) E.B. Reutern: Sosiologi pendidikan
mempunyai kewajiban untuk menganalisa lembaga-lembaga pendidikan dalam
hubungannya dengan perkembangan manusia dan dibatasi oleh pengaruh-pengaruh
lembaga-lembaga pendidikan yang menentukan kepribadian sosial dari tiap-tiap
individu. Jadi pada dasarnya antara individu dengan lembaga-lembaga sosial
saling mempengaruhi (process social interaction).
Tidak ketinggalan, Gunawan (2006:2)
mengemukakan definisinya tentang sosiologi pendidikan, yaitu ilmu pengetahuan yang
berusaha memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan analisis atau pendekatan
sosiologis.
Dari beberapa definisi, dapat disimpulkan
bahwa sosiologi pendidikan adalah ilmu yang mempelajari seluruh aspek
pendidikan, baik itu struktur, dinamika, masalah-masalah pendidikan ataupun
aspek-aspek lainnya secara mendalam melalui analisis atau pendekatan
sosiologis.
Aktivitas masyarakat dalam pendidikan, merupakan sebuah proses sehingga pendidikan dapat dijadikan instrumen oleh individu untuk dapat berinteraksi secara tepat di komunitas dan masyarakatnya. Pada sisi lain, sosiologi pendidikan memberikan penjelasan yang relevan dengan kondisi kekinian masyarakat, sehingga setiap individu sebagai anggota masyarakat dapat menyesuaikan diri dengan pertumbuhan dan perkembangan berbagai fenomena yang muncul dalam masyarakatnya.
Aktivitas masyarakat dalam pendidikan, merupakan sebuah proses sehingga pendidikan dapat dijadikan instrumen oleh individu untuk dapat berinteraksi secara tepat di komunitas dan masyarakatnya. Pada sisi lain, sosiologi pendidikan memberikan penjelasan yang relevan dengan kondisi kekinian masyarakat, sehingga setiap individu sebagai anggota masyarakat dapat menyesuaikan diri dengan pertumbuhan dan perkembangan berbagai fenomena yang muncul dalam masyarakatnya.
Namun demikian, pertumbuhan dan
perkembangan masyarakat merupakan bentuk lain dari pola budaya yang dibentuk
oleh suatu masyarakat. Pendidikan tugasnya tentu saja memberi penjelasan mengapa
suatu fenomena terjadi, apakah fenomena tersebut merupakan suatu yang harus
terjadi, dan bagaimana mengatasi segala implikasi yang bersifat buruk dari
berkembangnya fenomena tersebut sekaligus memelihara implikasi dari berbagai
fenomena yang ada.
3. RUANG LINGKUP SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Penelitian dan analisis terhadap sistem
pendidikan berdasarkan keduanya yang sekarang, tentunya sudah bisa dikuatkan
ruang lingkup sosiologi pendidikan. Karena minat dan pengalaman, ruang lingkup
yang diajukan ini terbatas pada wilayah analisis seputar sistem pendidikan
formal.
Dalam hubungan ini, Nasution (2004:6-7),
mengemukakan ruang lingkup sosiologi pendidikan meliputi pokok-pokok berikut
ini:
a. Hubungan sistem pendidikan dengan aspek-aspek
lain dalam masyarakat
1) hubungan pendidikan dengan sistem sosial
atau struktur sosial
2) hubungan antara sistem pendidikan dengan
proses kontrol sosial dan sistem kekuasaan
3) fungsi pendidikan dalam kebudayaan
4) fungsi sistem pendidikan dalam proses
perubahan sosial dan kultural atau usaha mempertahankan status quo, dan
5) fungsi sistem pendidikan formal bertalian
dengan kelompok rasial, kultural dan sebagainya
b. Hubugan antar manusia di dalam Sekolah
1)
hakikat
kebudayaan Sekolah sejauh ada perbeadaanya dengan kebudayaan diluar sekolah
2)
pola
interaksi sosial dan struktur masyarakat Sekolah, yang antara lain meliputi
berbagai hubungan kekuasaan, stratifikasi sosial dan pola kepemimpinan informal
sebagaimana terdapat dalam clique serta kelompok-kelompok murid lainnya
c.
Pengaruh
Sekolah terhadap perilaku dan kepribadian semua pihak di sekolah / lembaga
pendidikan
1)
peranan
sosial guru-guru / tenaga pendidikan
2)
hakikat
kepribadian guru / tenaga pendidikan
3)
pengaruh
kepribadian guru / tenaga kependidikan terhadap kelakuan anak / peserta didik,
dan
4)
fungsi
Sekolah / lembaga pendidikan dalam sosial murid / peserta didik.
d.
Hubungan
lembaga pendidikan dalam masyarakat
Di sini dianalisis pola-pola interaksi
antara sekolah/ lembaga pendidikan dengan kelompok-kelompok sosial lainnya
dalam masyarakat di sekitar sekolah/ lembaga pendidikan. Hal yang termasuk
dalam wilayah itu antara lain yaitu :
1)
Pengaruh
masyakarat atas organisasi Sekolah /lembaga pendidikan
2)
Analisis
proses pendidikan yang terdapat dalam sistematis sosial dalam masyarakat luar
sekolah.
3)
Hubungan
antara Sekolah dan masyarakat pendidikan dan
4)
Faktor-faktor
demografi dan ekologi dalam masyarakat yang berkaitan dengan organisasi
Sekolah, yang perlu untuk memahami sistem pendidikan dalam masyarakat serta
integrasinya di dalam kehidupan masyarakat.
Ruang lingkup sosiologi pendidikan
tersebut pada dasarnya untuk mempererat dan meningkatkan tujuan pendidikan
secara keseluruhan. Karena itu, sosiologi pendidikan tidak akan keluar dari
upaya-upaya agar pencapaian tujuan dan fungsi pendidikan tercapai menurut
pendidikan itu sendiri.
4. SEJARAH ANTROPOLOGI PENDIDIKAN
Sejarah tentang antroplogi pendidikan
tidak bisa kita pisahkan dari perkembangan ilmu antropologi itu sendiri, karena
antropologi pendidikan merupakan bagian dari antroplogi.
Antroplogi sebagai sebuah ilmu mengalami
tahapan-tahapan dalam perkembangannya. Koentjaraningrat (1986:1-5) membaginya
ke dalam 4 (empat) tahap.
Tahap pertama, ditandai dengan tulisan
tangan bangsa Eropa yang melakukan penjajahan di benua Afrika, Asia, dan
Amerika pada akhir abad ke-15. Tulisan itu merupakan deskripsi keadaan
bangsa-bangsa yang mereka singgahi. Deskripsi yang dituliskan mencakup adat
istiadat, suku, susunan masyarakat, bahasa, dan ciri-ciri fisik. Deskripsi
tersebut sangat menarik bagi masyarakat Eropa karena berbeda dengan keadaan di
Eropa pada umumnya. Bahan deskripsi itu disebut juga Etnografi (Etnos berarti
bangsa)
Tahap kedua, mereka menginginkan tulisan-tulisan atau deskripsi yang tersebar itu dikumpulkan jadi satu dan diterbitkan. Isinya disusun berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat, yaitu masyarakat dan kebudayaan manusia berevolusi dengan sangat lambat, dari tingkat rendah sampai tingkat tertinggi. Dari sinilah bangsa-bangsa digolongkan menurut tingkat evolusinya. Sekitar tahun 1860, terbit karangan yang mengaklasifikasikan berbagai kebudayaan tingkat evolusinya. Saat itu lahirlah antropologi.
Tahap kedua, mereka menginginkan tulisan-tulisan atau deskripsi yang tersebar itu dikumpulkan jadi satu dan diterbitkan. Isinya disusun berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat, yaitu masyarakat dan kebudayaan manusia berevolusi dengan sangat lambat, dari tingkat rendah sampai tingkat tertinggi. Dari sinilah bangsa-bangsa digolongkan menurut tingkat evolusinya. Sekitar tahun 1860, terbit karangan yang mengaklasifikasikan berbagai kebudayaan tingkat evolusinya. Saat itu lahirlah antropologi.
Dengan demikian pada tahap kedua ini,
antroplogi telah bersifat akademis. Pada tahap ini, antropologi mempelajari
masyarakat dan kebudayaan primitiv untuk memperoleh pengertian mengenai
tingkat-tingkat perkembangan dalam sejarah evolusi dan sejarah penyebaran
manusia di dunia.
Tahap ke tiga, antropologi menjadi ilmu
yang praktis. Pada tahap ini, antropologi mempalajari masyarakat jajahan demi
kepentingan kolonial. Hal ini berlangsung sekitar awal abad ke-20. Pada abad
ini, antropologi semakin penting untuk mengukuhkan dominasi bangsa-bangsa Eropa
Barat di daerah jajahannya. Dengan antropologi, bangsa Eropa mempelajari dan
tahu bagaimana menghadapi masyarakat daerah jajahannya. Selain itu,
bangsa–bangsa terjajah pada umumnya belum sekompleks bangsa Eropa Barat. Oleh
karena itu, mempelajari bangsa-bangsa terjajah bagi bangsa Eropa dapat menambah
pengertian mereka tentang masyarakat mereka sendiri (Bangsa Eropa Barat) yang
kompleks.
Tahap ke empat, antropologi berkembang
sangat luas, baik dalam akurasi bahan pengetahuanya maupun ketajaman
metode-metode ilmiahnya. Hal ini berlangsung sekitar pertengahan abad ke-20.
Sasaran penelitian antropologi di masa ini bukan lagi suku bangsa primitiv dan
bangsa Eropa Barat, tapi beralih pada penduduk pedesaan, baik mengenai
keanekaragaman fisik, masyarakat, maupun kebudayaannya termasuk suku bangsa di
daerah pedesaan di Amerika dan Eropa Barat itu sendiri, peralihan sasaran penelitian
itu terutama disebabkan oleh munculnya ketidaksenangan terhadap penjajahan dan
makin berkurangnya masyarakat yang dianggap primitiv.
Seperti halnya antropologi pada umumnya,
antropologi pendidikan berusaha menyusun genaralisasi yang bermanfaat tentang
manusia dan perilakunya dalam rangka memperoleh pengertian yang lengkap tentang
keanekaragaman manusia khususnya dalam dunia pendidikan.
Shomad (2009:1) menyatakan bahwa studi
antropologi pendidikan adalah spesialisasi yang termudah dalam antropologi.
Setelah dasawarsa tahun 60-an di Amerika Serikat semakin banyak diperlukan
keahlian dalam antropologi untuk meneliti masalah-masalah pendidikan, maka
antropologi pendidikan kemudian dianggap dapat berdiri sendiri sebagai cabang
spesialisasi antropologi yang resmi.
Di Indonesia, sebagai negara yang sedang
membangun, sangat diperlukan pengenalan kondisi yang lebih baik dan lebih
lengkap agar pembangunan yang diberlakukan tidak menimbulkan kesenjangan dengan
kondisi yang sejatinya. Antropologi pendidikan sering sejalan dengan
perkembangan tersebut. Dewasa ini antropologi pendidikan sendiri atau
bersama-sama dengan sosiologi pendidikan, menjadi mata kuliah wajib di lembaga
pendidikan tenaga kependidikan.
5. PENGERTIAN ANTROPOLOGI PENDIDIKAN
a.
ANTROPLOGI
Antropologi berasal dari kata Yunani ”antrophos” yang berarti ”manusia” dan ”logos” yang berarti ”ilmu”. Jadi antropologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang manusia sebagai makhluk masyarakat. Menurut R. Bedediet (Harsojo,1984:1) perhatian ilmu pengetahuan ini ditujukan kepada sifat khusus badaniah dan cara produksi tradisi serta nilai-nilai yang membuat pergaulan hidup yang satu berbeda dari pergaulan hidup lainnya.
Antropologi berasal dari kata Yunani ”antrophos” yang berarti ”manusia” dan ”logos” yang berarti ”ilmu”. Jadi antropologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang manusia sebagai makhluk masyarakat. Menurut R. Bedediet (Harsojo,1984:1) perhatian ilmu pengetahuan ini ditujukan kepada sifat khusus badaniah dan cara produksi tradisi serta nilai-nilai yang membuat pergaulan hidup yang satu berbeda dari pergaulan hidup lainnya.
Definisi tentang antropologi juga muncul
dalam situs wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/antropologi), yaitu :
·
William
A. Havilan
Antropologi
adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang
bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian
yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
·
David
Hunter
Antropologi
adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang manusia
·
Koentjaraningrat
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk pada fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk pada fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.
Dari definisi tersebut,
dapat disusun pengertian sederhana antroplogi yaitu sebuah ilmu yanag
mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara
berperilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap
manusia yang satu dengan yang lainnnya berbeda-beda.
b.
PENDIDIKAN
Ngalim Purwanto (1995:11) menyatakan bahwa pendidikan ialah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.
Ngalim Purwanto (1995:11) menyatakan bahwa pendidikan ialah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.
Esensi
dari pendidikan itu sendiri ialah pengalihan (transmisi) kebudayaan (ilmu
pengetahuan, ide-ide dan nilai-nilai spiritual serta estetika) dari generasi
yang lebih tua kepada generasi yang lebih muda setiap masyarakat atau bangsa.
c.
ANTROPOLOGI
PENDIDIKAN
Antropologi
pendidikan merupakan sebuah kajian sistematik, tidak hanya mengenai praktek
pendidikan dalam perspektif budaya, tetapi juga tentang asumsi yang dipakai
antropologi terhadap pendidikan dan asumsi yang dicerminkan oleh
praktek-praktek pendidikan (Imran Manan dalam Zamzami, http://Izamzami.multiply.com/reviews/item/s).
Menurut
Shomad (2009:1), antropologi pendidikan mengkaji penggunaan teori-teori dan
metode yang digunakan oleh para antropolog serta pengetahuan khususnya yang
berhubungan dengan kebutuhan manusia atau masyarakat. Dengan demikian,
antropologi pendidikan bukan menghasilkan ahli-ahli antropologi melainkan
menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang pendidikan melalui perspektif
antropologi.
Pendidikan dapat diperoleh melalui lembaga formal dan informal. Penyampaian kebudayaan melalui lembaga informal tersebut dilakukan semenjak kecil di dalam lingkungan keluarganya. Dalam masyarakat, pendidikan memiliki fungsi yang sangat besar dalam memahami kebudayaan sebagai satu keseluruhan.
Pendidikan dapat diperoleh melalui lembaga formal dan informal. Penyampaian kebudayaan melalui lembaga informal tersebut dilakukan semenjak kecil di dalam lingkungan keluarganya. Dalam masyarakat, pendidikan memiliki fungsi yang sangat besar dalam memahami kebudayaan sebagai satu keseluruhan.
Antropologi
pendidikan dihasilkan melalui teori khusus dan percobaan yang terpisah dengan
kajian yang sistematis mengenai praktek pendidikan dalam perspektif budaya,
sehingga antropologi menyimpulkan bahwa sekolah merupakan sebuah benda budaya
yang menjadi skema nilai-nilai dalam membimbing masyarakat.
6.
RUANG
LINGKUP ANTROPOLOGI PENDIDIKAN
Ralphlinton dalam Shomad (2009:3)
menganggap kebudayaan adalah warisan sosial. Warisan sosial tersebut mempunyai
dua fungsi. Pertama, fungsi bagi penyesuaian diri dengan masyarakat. Kedua,
fungsi bagi penyesuaian diri dengan lingkungan.
Lebih lanjut, Shomad (2009:3-4), menjelaskan
implementasi pendidikan sebagai penyesuaian diri dengan masyarakat, lingkungan
dan kebudayaan sebagai bentuk ruang lingkup antroplogi pendidikan berlangsung
dalam proses. yaitu:
a.
Proses
Sosialisasi:
Proses
ini dimulai sejak bayi baru lahir. Bayi berinteraksi dengan orang-orang
disekitarnya, hingga terjadi komunikasi timbal balik dan seterusnya hingga ia
tumbuh dan berkembang.
Adapun
yang menjadi sorotan dalam proses sosialisasi yaitu:
1) adanya konflik oleh ketidakharmonisan
antara keinginan pribadi anak dengan tuntutan norma dan aturan yang berlaku
2) perbedaan status ekonomi dan letak
geografis
b.
Proses
Enkulturasi
Enkulturasi,
artinya pembudayaan. Yang dimaksud adalah proses pembudayaan anak agar menjadi
manusia berbudaya. Dalam proses ini pranata, yaitu sistem norma atau
aturan-aturan mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus
(Koentjaraningrat,1980 :164).
Adapun
yang biasa menjadi kajian dalam proses ini, yaitu:
1) Perbedaan jenis kelamin
2) Perbedaan umur
3) Perbedaan/perubahan status (inisiasi)
4) Proses Internalisasi
Proses
internalisasi yaitu proses penerimaan dan menjadikan warisan sosial
(pengetahuan budaya) sebagai isi kepribadian yang dinyatakan dalam perilaku
sehari-hari selama hayat masih dikandung badan.
Dalam
proses ini kita mendapatkan adanya perbedaan pada masing-masing individu berupa
perbedaan kepribadian dan pengalaman.
Sehubungan dengan penamaan sosiologi
pendidikan, terdapat perdebatan yang cukup tajam tentang penggunaan
istilah-istilah yang digunakan antara lain sociological approach to education,
educational sociology of education, atau the foundation. Pada akhirnya dipilih
istilah sociology of education dengan tekanan dan wilayah tekanannya pada
proses sosiologis yang berlangsung dalam lembaga pendidikan.
R.J. Stalcup
mengemukakan bahwa sociology of education merupakan suatu analisis terhadap
proses-proses sosiologis yang berlangsung dalam lembaga pendidikan. Tekanan dan
wilayah telaahnya pada lembaga pendidikan itu sendiri.
Nasution mengemukakan
ruang lingkup sosiologi pendidikan meliputi pokok-pokok berikut ini:
·
hubungan
sistem pendidikan dengan aspek-aspek lain dalam masyarakat
·
hubungan
antar manusia di dalam Sekolah
·
pengaruh
Sekolah terhadap perilaku dan kepribadian semua pihak di sekolah / lembaga
pendidikan
·
hubungan
lembaga pendidikan dalam masyarakat Shomad menyatakan bahwa studi antropologi
pendidikan adalah spesialisasi yang termudah dalam antropologi.
Setelah
dasawarsa tahun 60-an di Amerika Serikat semakin banyak diperlukan keahlian
dalam antropologi untuk meneliti masalah-masalah pendidikan, maka antropologi
pendidikan kemudian dianggap dapat berdiri sendiri sebagai cabang spesialisasi
antropologi yang resmi.
Antropologi
pendidikan merupakan sebuah kajian sistematik, tidak hanya mengenai praktek
pendidikan dalam perspektif budaya, tetapi juga tentang asumsi yang dipakai
antropologi terhadap pendidikan dan asumsi yang dicerminkan oleh
praktek-praktek pendidikan. Ralphlinton menganggap kebudayaan adalah warisan
sosial. Warisan sosial tersebut mempunyai dua fungsi. Pertama, fungsi bagi
penyesuaian diri dengan masyarakat. Kedua, fungsi bagi penyesuaian diri dengan
lingkungan.
Peta dunia
tentang kemakmuran dan kemajuan umat manusia berkembang dan bergeser dari yang
diwarnai penguasaan/kekayaan akan Sumber Daya Alam (SDA) kepada pemilikan
Sumber Daya Alam (SDA) yang bermutu. Tidak diragukan lagi bahwa mutu SDM
merupakan fungsi pendidikan, dalam arti bahwa bangsa yang memiliki sistem
pendidikan bermutu akan menjadi bangsa yang maju dan makmur, dan sebaliknya.
Ada korelasi positif antara struktur penduduk berdasarkan pendidikan dengan
tingkat pendidikan yang dicapai. Selanjutnya bisa dilihat bahwa antara mutu
pendidikan dengan tingkat kemakmuran terdapat hubungan yang saling menguatkan.
Pada level individu, pendidikan merupakan proses sosialisasi dan pembudayaan melalui interaksi dengan lingkungan, yang menghasilkan pribadi-pribadi utuh yang menempati status tertentu dalam struktur sosialnya. Pendidikan merupakan proses pelestarian dan perubahan budaya. Melalui pendidikan, berlangsung pewarisan komponen-komponen budaya yang telah dibina dan dipelihara secara turun temurun, namun sejalan dengan itu melalui pendidikan orang diharapkan akan mampu membentuk hari esok yang lebih baik daripada hari ini dan hari kemarin yang dilewatinya. Meskipun secara teknis setiap masyarakat mengembangkan sistem pendidikan sendiri-sendiri sesuai dengan latar belakang sosio-budaya yang berlaku dan karakteristik masyarakatnya, tujuan akhirnya adalah sama yaitu mengembangkan pribadi-pribadi yang utuh, sehat jasmani dan rohani, berbudi pekerti luhur, beriman dan bertakwa, bermental kuat, produktif, kreatif, dan mandiri, bermakna bagi dirinya dan turut bertanggungjawab atas kesejahteraan masyarakat dan manusia pada umumnya.
Pada level individu, pendidikan merupakan proses sosialisasi dan pembudayaan melalui interaksi dengan lingkungan, yang menghasilkan pribadi-pribadi utuh yang menempati status tertentu dalam struktur sosialnya. Pendidikan merupakan proses pelestarian dan perubahan budaya. Melalui pendidikan, berlangsung pewarisan komponen-komponen budaya yang telah dibina dan dipelihara secara turun temurun, namun sejalan dengan itu melalui pendidikan orang diharapkan akan mampu membentuk hari esok yang lebih baik daripada hari ini dan hari kemarin yang dilewatinya. Meskipun secara teknis setiap masyarakat mengembangkan sistem pendidikan sendiri-sendiri sesuai dengan latar belakang sosio-budaya yang berlaku dan karakteristik masyarakatnya, tujuan akhirnya adalah sama yaitu mengembangkan pribadi-pribadi yang utuh, sehat jasmani dan rohani, berbudi pekerti luhur, beriman dan bertakwa, bermental kuat, produktif, kreatif, dan mandiri, bermakna bagi dirinya dan turut bertanggungjawab atas kesejahteraan masyarakat dan manusia pada umumnya.
Interaksi
sosial merupakan kata kunci dalam proses pendidikan. Keberhasilan pendidikan
ditentukan oleh mutu interaksi itu. Dengan siapa ia berinteraksi, pesan-pesan
apa yang disampaikan, bagaimana interaksi itu berlangsung, media dan
sarana-prasarana apa yang digunakan, serta bagaimana dampak interaksi itu pada
pihak-pihak yang terlibat.
Pendidikan bisa dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, yaitu sudut pandang/dimensi akademik dan sudut pandang/dimensi praksisnya dalam kehidupan. Apabila dimensi akademik menekankan pada pemahaman dan pengembangan ilmu, dimensi praksis berkaitan dengan implementasinya dalam kehidupan beserta dampak-dampak social yang mengirinya. Sebenarnya kedua dimensi itu tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Antara keduanya terjalin hubungan kesalingtergantungan yang amat erat saling meningkatkan dan saling menguatkan.
Pendidikan bisa dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, yaitu sudut pandang/dimensi akademik dan sudut pandang/dimensi praksisnya dalam kehidupan. Apabila dimensi akademik menekankan pada pemahaman dan pengembangan ilmu, dimensi praksis berkaitan dengan implementasinya dalam kehidupan beserta dampak-dampak social yang mengirinya. Sebenarnya kedua dimensi itu tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Antara keduanya terjalin hubungan kesalingtergantungan yang amat erat saling meningkatkan dan saling menguatkan.
Adapun yang
menjadi fokus perhatian Sosiologi Pendidikan adalah yang kedua, yaitu dimensi
praksis pendidikan itu, yang dalam tulisan ini dibatasi pada pengertian
landasan sosiologi, latar belakang histories perkembangannya, landasan
sosiologi pendidikan, ruang lingkup dan fungsi kajian sosiologi pendidikan, dan
kajian masyarakat Indonesia sebagai landasan sosiologi sistem pendidikan
nasional.
1. PENGERTIAN LANDASAN SOSIOLOGI
Manusia
selalu hidup berkelompok, sesuatu yang juga terdapat pada makhluk hidup lainnya
yakni hewan. Meskipun demikian, pengelompokan manusia jauh lebih rumit dari
pengelompokan hewan. Pada hewan, hidup berkelompok memiliki ciri-ciri (Wayan
Ardhana, 1968) sebagai berikut: (a) ada pembagian kerja, (b) ada ketergantungan
antar anggota, (c) ada kerjasama antar anggota, (d) ada komunikasi antar
anggota, (e) ada diskriminasi antar individu yang hidup dalam kelompok lain.
Ciri-ciri hewan tersebut dapat pula ditemukan pada manusia. Kehidupan sosial
manusia tersebut dipelajari oleh filsafat, yang berusaha mencari hakekat
masyarakat yang sebenarnya. Filsafat sosial sering membedakan manusia sebagai
individu dan manusia sebagai anggota masyarakat. Pandangan aliran-aliran
filsafat tentang realitas sosial itu berbeda-beda, sehingga dapat ditemukan bermacam-macam
aliran filsafat sosial.
Sosiologi
lahir dalam abad ke-19 di Eropa, karena pergeseran pandangan tentang
masyarakat, sebagai ilmu empiris yang memperoleh pijakan yang kokoh. Sosiologi
sebagai ilmu yang otonom dapat lahir karena terlepas dari pengaruh filsafat.
Nama sosiologi untuk pertama kali digunakan oleh August Comte (1798-1857) pada
tahun 1839, sosiologi merupakan ilmu pengetahuan positif yang mempelajari
masyarakat. Sosiologi mempelajari berbagai tindakan sosial yang menjelma dalam
realitas sosial. Mengingat banyaknya realitas social, maka lahirlah berbagai
cabang sosiologi seperti sosiologi kebudayaan, sosiologi ekonomi, sosiologi
agama, sosiologi pengetahuan, sosiologi pendidikan, dan lain-lain. Kegiatan
pendidikan merupakan suatu proses interaksi antara dua individu, bahkan dua
generasi, yang memungkinkan generasi muda memperkembangkan diri. Kegiatan
pendidikan yang sistematis terjadi di lembaga sekolah yang dengan sengaja di
bentuk oleh masyarakat. Perhatian sosiologi pada pendidikan semakin intensif.
Dengan meningkatnya perhatian sosiologi pada kegiatan pendidikan tersebut maka
lahirlah cabang sosiologi pendidikan.
2. LATAR BELAKANG HISTORIS SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Ketika
diangkat menjadi Presiden American Sosiological Association pada tahun 1883,
Lester Frank Ward, yang berpandangan demokratis, menyampaikan pidato pengukuhan
dengan menekankan bahwa sumber utama perbedaan kelas sosial dalam masyarakat
Amerika adalah perbedaan dalam memiliki kesempatan, khususnya kesempatan dalam
memperoleh pendidikan. Orang berpendidikan lebih tinggi memiliki peluang lebih
besar untuk maju dan memiliki kehidupan yang lebih bermutu. Pendidikan
dipandang sebagai faktor pembeda antara kelas-kelas sosial yang cukup
merisaukan. Untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan tersebut ia mendesak
pemerintahnya agar menyelenggarakan wajib belajar. Usulan itu dikabulkan, dan
wajib belajar di USA berlangsung 11 tahun, sampai tamat Senior High School
(Rochman Natawidjaja, et. al., 2007: 78).
Buah
pikiran Ward dijadikan landasan untuk lahirnya Educational Sociology sebagai
cabang ilmu yang baru dalam sosiologi pada awal abad ke-20. Ia sering dijuluki
sebagai “Bapak Sosiologi Pendidikan”(Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 79).
Fokus kajian Educational Sociology adalah penggunaan pendidikan pendidikan
sebagai alat untuk memecahkan permasalahan social dan sekaligus memberikan
rekomendasi untuk mendukung perkembangan pendidikan itu sendiri. Kelahiran
cabang ilmu baru ini mendapat sambutan luas dikalangan universitas di USA. Hal
itu terbukti dari adanya 14 universitas yang menyelenggarakan perkuliahan
Educational Sociology, pada tahun 1914. Selanjutnya, pada tahun 1923 dibentuk
organisasi professional bernama National Society for the Study of Educational
Sociology dan menerbitkan Journal of educational Sociology. Pada tahun 1948,
organisasi progesional yang mandiri itu bergabung ke dalam seksi pendidikan
dari American Sociological Society.
Pada tahun 1928 Robert Angel mengeritik Educational Sociology dan memperkenalkan nama baru yaitu Sociology of Education dengan focus perhatian pada penelitian dan publikasi hasilnya, sehingga Sociology of Education bisa menjadi sumber data dan informasi ilmiah, serta studi akademis yang bertujuan mengembangkan teori dan ilmu sendiri. Dengan dukungan dana penelitian yang memadai, berhembuslah angin segar
dan menarik para sosiolog untuk melakukan penelitian dalam bidang pendidikan. Maka diubahlah nama Educational Sociology menjadi Sociology of Education dan Journal of Educational Sociology menjadi Journal of the Sociology of Education (1963). Serta seksi Educational Sociology dalam American Sociological Society pun berubah menjadi seksi Sociology of Education yang berlaku sampai sekarang. Penelitian dan publikasi hasilnya menandai kehidupan Sociology of Education sejak pasca Perang Dunia II.
Pada tahun 1928 Robert Angel mengeritik Educational Sociology dan memperkenalkan nama baru yaitu Sociology of Education dengan focus perhatian pada penelitian dan publikasi hasilnya, sehingga Sociology of Education bisa menjadi sumber data dan informasi ilmiah, serta studi akademis yang bertujuan mengembangkan teori dan ilmu sendiri. Dengan dukungan dana penelitian yang memadai, berhembuslah angin segar
dan menarik para sosiolog untuk melakukan penelitian dalam bidang pendidikan. Maka diubahlah nama Educational Sociology menjadi Sociology of Education dan Journal of Educational Sociology menjadi Journal of the Sociology of Education (1963). Serta seksi Educational Sociology dalam American Sociological Society pun berubah menjadi seksi Sociology of Education yang berlaku sampai sekarang. Penelitian dan publikasi hasilnya menandai kehidupan Sociology of Education sejak pasca Perang Dunia II.
Sosiologi
lahir dalam abad ke-19 di Eropa karena pergeseran pandangan tentang masyarakat
sebagai ilmu empiris yang memperoleh pijakan yang kokoh. Nama sosiologi untuk
pertama kali digunakan oleh August Comte (1798-1857) pada tahun 1839 (Umar
Tirtarahardja dan La Sulo, 1994: 96). Di Prancis, pelopor sosiologi pendidikan
yang terkemuka adalah Durkheim (1858-1917), merupakan Guru Besar Sosiologi dan
Pendidikan pada Universitas Sorbonne.
Di Jerman,
Max Weber (1864-1920) menyoroti keadaan dan penyelenggaraan pendidikan pada
masyarakat dengan latar belakang sosial budaya serta tingkat kemajuan berbeda.
Sedang di Inggris, perhatian sosiologi pada pendidikan pada awalnya kurang
berkembang karena pelopor sosiologi-nya, yaitu Herbert Spencer (1820-1903)
justru merupakan Darwinisme Sosial. Namun belakangan, di Inggris muncul aliran
sosiologi yang memfokuskan perhatiannya akan analisis pendidikan pada level
mikro, yaitu mengenai interaksi social yang terjadi dalam ruang belajar. Berstein,
misalnya, berusaha dengan jalan menyajikan lukisan tentang kenyataan dan
permasalahan yang terdapat dalam sistem persekolahan dengan tujuan agar para
pengambil keputusan menentukan langkah-langkah perbaikan yang tepat. Pendekatan
Berstein ini oleh Karabel dijuluki sebagai atheoretical, pragmatic,
descriptive, and policy focused (Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 80).
Di
Indonesia, perhatian akan peran pendidikan dalam pengembangan masyarakat,
dimulai sekitar tahun 1900, saat Indonesia masih dijajah Belanda. Para
pendukung politis etis di Negeri Belanda saat itu melihat adanya keterpurukan
kehidupan orang Indonesia. Mereka mendesak agar pemerintah jajahan melakukan
politik balas budi untuk memerangi ketidakadilan melalui edukasi, irigasi, dan
emigrasi. Meskipun pada mulanya program pendidkan itu amat elitis, lama
kelamaan meluas dan meningkat ke arah yang makin populis sampai penyelenggaraan
wajib belajar dewasa ini. Pelopor pendidikan pada saat itu antara lain: Van
Deventer, R.A.Kartini, dan R.Dewi Sartika.
3. LANDASAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Landasan
sosiologi mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber dari norma kehidupan
masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan
bermasyarakat suatu bangsa, kita harus memusatkan perhatian pada pola hubungan
antar pribadi dan antar kelompok dalam masyrakat tersebut. Untuk terciptanya
kehidupan masyarakat yang rukun dan damai, terciptalah nilai-nilai sosial yang
dalam perkembangannya menjadi norma-norma social yang mengikat kehidupan
bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam norma yang dianut oleh pengikutnya, yaitu: (1) paham individualisme, (2) paham kolektivisme, (3) paham integralistik. Paham individualisme dilandasi teori bahwa manusia itu lahir merdeka dan hidup merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja menurut keinginannya, asalkan tidak mengganggu keamanan orang lain. Dampak individualisme menimbulkan cara pandang yang lebih mengutamakan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Dalam masyarakat seperti ini, usaha untuk mencapai pengembangan diri, antara anggota masyarakat satu dengan yang lain saling berkompetisi sehingga menimbulkan dampak yang kuat. Paham kolektivisme memberikan kedudukan yang berlebihan kepada masyarakat dan kedudukan anggota masyarakat secara perseorangan hanyalah sebagai alat bagi masyarakatnya. Sedangkan paham integralistik dilandasi pemahaman bahwa masing-masing anggota masyarakat saling berhubungan erat satu sama lain secara organis merupakan masyarakat. Masyarakat integralistik menempatkan manusia tidak secara individualis melainkan dalam konteks strukturnya manusia adalah pribadi dan juga merupakan relasi. Kepentingan masyarakat secara keseluruhan diutamakan tanpa merugikan kepentingan pribadi.
Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam norma yang dianut oleh pengikutnya, yaitu: (1) paham individualisme, (2) paham kolektivisme, (3) paham integralistik. Paham individualisme dilandasi teori bahwa manusia itu lahir merdeka dan hidup merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja menurut keinginannya, asalkan tidak mengganggu keamanan orang lain. Dampak individualisme menimbulkan cara pandang yang lebih mengutamakan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Dalam masyarakat seperti ini, usaha untuk mencapai pengembangan diri, antara anggota masyarakat satu dengan yang lain saling berkompetisi sehingga menimbulkan dampak yang kuat. Paham kolektivisme memberikan kedudukan yang berlebihan kepada masyarakat dan kedudukan anggota masyarakat secara perseorangan hanyalah sebagai alat bagi masyarakatnya. Sedangkan paham integralistik dilandasi pemahaman bahwa masing-masing anggota masyarakat saling berhubungan erat satu sama lain secara organis merupakan masyarakat. Masyarakat integralistik menempatkan manusia tidak secara individualis melainkan dalam konteks strukturnya manusia adalah pribadi dan juga merupakan relasi. Kepentingan masyarakat secara keseluruhan diutamakan tanpa merugikan kepentingan pribadi.
Landasan
sosiologis pendidikan di Indonesia menganut paham integralistik yang bersumber
dari norma kehidupan masyarakat: (1) kekeluargaan dan gotong royong,
kebersamaan, musyawarah untuk mufakat, (2) kesejahteraan bersama menjadi tujuan
hidup bermasyarakat, (3) negara melindungi warga negaranya, dan (4) selaras
serasi seimbang antara hak dan kewajiban. Oleh karena itu, pendidikan di
Indonesia tidak hanya meningkatkan kualitas manusia secara orang per orang
melainkan juga kualitas struktur masyarakatnya.
4. RUANG LINGKUP DAN FUNGSI KAJIAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Para ahli Sosiologi dan ahli Pendidikan sepakat bahwa, sesuai dengan namanya, Sosiologi Pendidikan atau Sociology of Education (juga Educational Sociology) adalah cabang ilmu Sosiologi, yang pengkajiannya diperlukan oleh professional dibidang pendidikan (calon guru, para guru, dan pemikir pendidikan) dan para mahasisiwa serta professional sosiologi.
Mengenai ruang lingkup Sosiologi Pendidikan, Brookover mengemukakan adanya empat pokok bahasan berikut: (1) Hubungan sistem pendidikan dengan sistem social lain, (2) Hubungan sekolah dengan komunitas sekitar, (3) Hubungan antar manusia dalam sistem pendidikan, (4) Pengaruh sekolah terhadap perilaku anak didik (Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 81). Sosiologi Pendidikan diharapkan mampu memberikan rekomendasi mengenai bagaimana harapan dan tuntutan masyarakat mengenai isi dan proses pendidikan itu, atau bagaimana sebaiknya pendidikan itu berlangsung menurut kacamata kepentingan masyarakat, baik pada level nasional maupun lokal.
Para ahli Sosiologi dan ahli Pendidikan sepakat bahwa, sesuai dengan namanya, Sosiologi Pendidikan atau Sociology of Education (juga Educational Sociology) adalah cabang ilmu Sosiologi, yang pengkajiannya diperlukan oleh professional dibidang pendidikan (calon guru, para guru, dan pemikir pendidikan) dan para mahasisiwa serta professional sosiologi.
Mengenai ruang lingkup Sosiologi Pendidikan, Brookover mengemukakan adanya empat pokok bahasan berikut: (1) Hubungan sistem pendidikan dengan sistem social lain, (2) Hubungan sekolah dengan komunitas sekitar, (3) Hubungan antar manusia dalam sistem pendidikan, (4) Pengaruh sekolah terhadap perilaku anak didik (Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 81). Sosiologi Pendidikan diharapkan mampu memberikan rekomendasi mengenai bagaimana harapan dan tuntutan masyarakat mengenai isi dan proses pendidikan itu, atau bagaimana sebaiknya pendidikan itu berlangsung menurut kacamata kepentingan masyarakat, baik pada level nasional maupun lokal.
Sosiologi
Pendidikan secara operasional dapat defenisi sebagai cabang sosiologi yang
memusatkan perhatian pada mempelajari hubungan antara pranata pendidikan dengan
pranata kehidupan lain, antara unit pendidikan dengan komunitas sekitar,
interaksi social antara orang-orang dalam satu unit pendidikan, dan dampak
pendidikan pada kehidupan peserta didik (Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007:
82).
Sebagaimana
ilmu pengetahuan pada umumnya, Sosiologi Pendidikan dituntut melakukan tiga
fungsi pokok.
Pertama,
fungsi eksplanasi, yaitu menjelaskan atau memberikan pemahaman tentang fenomena
yang termasuk ke dalam ruang lingkup pembahasannya. Untuk diperlukan
konsep-konsep, proposisi-proposisi mulai dari yang bercorak generalisasi
empirik sampai dalil dan hukum-hukum yang mantap, data dan informasi mengenai
hasil penelitian lapangan yang actual, baik dari lingkungan sendiri maupun dari
lingkungan lain, serta informasi tentang masalah dan tantangan yang dihadapi.
Dengan informasi yang lengkap dan akurat, komunikan akan memperoleh pemahaman
dan wawasan yang baik dan akan dapat menafsirkan fenomena-fenomena yang
dihadapi secara akurat. Penjelasan-penjelasan itu bisa disampaikan melalui
berbagai media komunikasi.
Kedua,
fungsi prediksi, yaitu meramalkan kondisi dan permasalahan pendidikan yang
diperkirakan akan muncul pada masa yang akan datang. Sejalan dengan itu,
tuntutan masyarakat akan berubah dan berkembang akibat bekerjanya faktor-faktor
internal dan eksternal yang masuk ke dalam masyarakat melalui berbagai media
komunikasi. Fungsi prediksi ini amat diperlukan dalam perencanaan pengembangan
pendidikan guna mengantisipasi kondisi dan tantangan baru.
Ketiga,
fungsi utilisasi, yaitu menangani permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam
kehidupan masyarakat seperti masalah lapangan kerja dan pengangguran, konflik
sosial, kerusakan lingkungan, dan lain-lain yang memerlukan dukungan
pendidikan, dan masalah penyelenggaraan pendidikan sendiri.
Jadi,
secara umum Sosiologi Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan fungsi-fungsinya
selaku ilmu pengetahuan (pemahaman eksplanasi, prediksi, dan utilisasi) melalui
pengkajian tentang keterkaitan fenomena-fenomena sosial dan pendidikan, dalam
rangka mencari model-model pendidikan yang lebih fungsional dalam kehidupan
masyarakat. Secara khusus, Sosiologi Pendidikan berusaha untuk menghimpun data
dan informasi tentang interaksi sosial di antara orang-orang yang terlibat
dalam institusi pendidikan dan dampaknya bagi peserta didik, tentang hubungan antara
lembaga pendidikan dan komunitas sekitarnya, dan tentang hubungan antara
pendidikan dengan pranata kehidupan lain.
5. MASYARAKAT INDONESIA SEBAGAI LANDASAN SOSIOLOGIS
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Masyarakat
selalu mencakup sekelompok orang yang berinteraksi antar sesamanya, saling
tergantung dan terikat oleh nilai dan norma yang dipatuhi bersama, pada umumnya
bertempat tinggal di wilayah tertentu, dan adakalanya mereka memiliki hubungan
darah atau memiliki kepentingan bersama. Masyarakat dapat merupakan suatu
kesatuan hidup dalam arti luas ataupun dalam arti sempit. Masyarakat dalam arti
luas pada umumnya lebih abstrak misalnya masyarakat bangsa, sedang dalam arti
sempit lebih konkrit misalnya marga atau suku. Masyarakat sebagai kesatuan
hidup memiliki ciri utama, antara lain: (1) ada interaksi antara
warga-warganya, (2) pola tingkah laku warganya diatur oleh adat istiadat,
norma-norma, hukum, dan aturan-aturan khas, (3) ada rasa identitas kuat yang
mengikat para warganya. Kesatuan wilayah, kesatuan adat- istiadat, rasa
identitas, dan rasa loyalitas terhadap kelompoknya merupakan pangkal dari
perasaan bangga sebagai patriotisme, nasionalisme, jiwa korps, dan
kesetiakawanan sosial (Umar Tirtarahardja dan La Sulo, 1994: 100).
Masyarakat Indonesia mempunyai perjalanan sejarah yang panjang. Dari dulu hingga kini, ciri yang menonjol dari masyarakat Indonesia adalah sebagai masyarakat majemuk yang tersebar diribuan pulau di nusantara. Melalui perjalanan panjang, masyarakat yang bhineka tersebut akhirnya mencapai satu kesatuan politik untuk mendirikan satu negara serta berusaha mewujudkan satu masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang bhinneka tunggal ika. Sampai saat ini, masyarakat Indonesia masih ditandai oleh dua ciri yang unik, yakni (1) secara horizontal ditandai oleh adanya kesatuan-kesatuan social atau komunitas berdasarkan perbedaan suku, agama, adat istiadat, dan kedaerahan, dan (2) secara vertical ditandai oleh adanya perbedaan pola kehidupan antara lapisan atas, menengah, dan lapisan bawah.
Masyarakat Indonesia mempunyai perjalanan sejarah yang panjang. Dari dulu hingga kini, ciri yang menonjol dari masyarakat Indonesia adalah sebagai masyarakat majemuk yang tersebar diribuan pulau di nusantara. Melalui perjalanan panjang, masyarakat yang bhineka tersebut akhirnya mencapai satu kesatuan politik untuk mendirikan satu negara serta berusaha mewujudkan satu masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang bhinneka tunggal ika. Sampai saat ini, masyarakat Indonesia masih ditandai oleh dua ciri yang unik, yakni (1) secara horizontal ditandai oleh adanya kesatuan-kesatuan social atau komunitas berdasarkan perbedaan suku, agama, adat istiadat, dan kedaerahan, dan (2) secara vertical ditandai oleh adanya perbedaan pola kehidupan antara lapisan atas, menengah, dan lapisan bawah.
Pada zaman
penjajahan, sifat dasar masyarakat Indonesia yang menonjol adalah (1) terjadi
segmentasi ke dalam bentuk kelompok social atau golongan social jajahan yang
seringkali memiliki sub-kebudayaan sendiri, (2) memiliki struktur social yang
terbagi-bagi, (3) seringkali anggota masyarakat atau kelompok tidak
mengembangkan konsensus di antara mereka terhadap nilai-nilai yang bersifat
mendasar, (4) diantara kelompok relative seringkali mengalami konflik, (5)
terdapat saling ketergantungan di bidang ekonomi, (6) adanya dominasi politik
oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok social yang lain, dan (7) secara
relative integrasi social sukar dapat tumbuh (Wayan Ardhana, 1986: Modul 1/70).
Masyarakat Indonesia setelah kemerdekaan, utamanya pada zaman pemerintahan Orde Baru, telah banyak mengalami perubahan. Sebagai masyarakat majemuk, maka komunitas dengan ciri-ciri unik, baik secara horizontal maupun secara vertikal, masih dapat ditemukan, demikian pula halnya dengan sifat-sifat dasar dari zaman penjajahan belum terhapus seluruhnya. Namun niat politik yang kuat menjadi suatu masyarakat bangsa Indonesia serta kemajuan dalam berbagai bidang pembangunan, maka sisi ketunggalan dari “bhinneka tunggal ika” makin mencuat. Berbagai upaya dilakukan, baik melalui kegiatan jalur sekolah maupun jalur luar sekolah, telah menumbuhkan benih-benih persatuan dan kesatuan yang semakin kokoh.
Masyarakat Indonesia setelah kemerdekaan, utamanya pada zaman pemerintahan Orde Baru, telah banyak mengalami perubahan. Sebagai masyarakat majemuk, maka komunitas dengan ciri-ciri unik, baik secara horizontal maupun secara vertikal, masih dapat ditemukan, demikian pula halnya dengan sifat-sifat dasar dari zaman penjajahan belum terhapus seluruhnya. Namun niat politik yang kuat menjadi suatu masyarakat bangsa Indonesia serta kemajuan dalam berbagai bidang pembangunan, maka sisi ketunggalan dari “bhinneka tunggal ika” makin mencuat. Berbagai upaya dilakukan, baik melalui kegiatan jalur sekolah maupun jalur luar sekolah, telah menumbuhkan benih-benih persatuan dan kesatuan yang semakin kokoh.
Berbagai
upaya telah dilakukan dengan tidak mengabaikan kenyataan tentang kemajemukan
masyarakat Indonesia. Hal terakhir tersebut kini makin mendapat perhatian yang
semestinya dengan antara lain dimasukkannya muatan lokal (mulok) di dalam
kurikulum sekolah. Perlu ditegaskan bahwa muatan lokal di dalam kurikulum tidak
dimaksudkan sebagai upaya membentuk “manusia lokal”, akan tetapi haruslah
dirancang dan dilaksanakan dalam rangka mewujudkan “manusia Indonesia” di suatu
lokal tertentu. Dengan demikian akan dapat diwujudkan manusia Indonesia dengan
wawasan nusantara dan berjiwa nasional akan tetapi yang memahami dan menyatu
dengan lingkungan (alam, sosial, dan budaya) di sekitarnya.
Dasar
sosiologis berkenaan dengan perkembangan, kebutuhan, dan karakteristik
masyarakat. Sosiologi pendidikan merupakan analisa ilmiah tentang proses social
di dalam sistem pendidikan. Ruang lingkup yang dipelajari oleh sosiologi pendidikan
meliputi empat bidang:
a. hubungan sistem pendidikan dengan sistem sosial lain
b. hubungan sekolah dengan komunitas sekitar
c. hubungan antar manusia dalam sistem pendidikan
d. pengaruh sekolah terhadap perilaku anak didik
Landasan sosiologis mengandung norma dasar pendidikan
yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa.
Untuk memahami kehidupan bermasyarakat suatu bangsa, kita harus memusatkan
perhatian pada pola hubungan antar pribadi dan antar kelompok dalam masyarakat
tersebut. Untuk terciptanya kehidupan bermasyarakat yang rukun dan damai,
terciptalah nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya menjadi norma-norma
sosial yang mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-masing
anggota masyarakat.
Sosiologi pendidikan dituntut untuk melakukan tiga
fungsi, yaitu: (1) fungsi eksplanasi, (2) fungsi prediksi, (3) fungsi
utilisasi. Secara umum, sosiologi pendidikan bertujuan untuk mengembangkan
fungsi-fungsinya tersebut melalui pengkajian fenomena-fenomena sosial dan
pendidikan, dalam rangka mencari model-model pendidikan yang lebih fungsional
dalam kehidupan masyarakat.
Perkembangan masyarakat Indonesia dari masa ke masa
telah mempengaruhi sistem pendidikan nasional. Hal tersebut sangatlah wajar,
mengingat kebutuhan akan pendidikan semakin meningkat dan kompleks. Berbagai
upaya pemerintah telah dilakukan untuk menyesuaikan pendidikan dengan
perkembangan masyarakat terutama dalam hal menumbuh-kembangkan ke-Bhineka
Tunggal Ika-an, baik melalui kegiatan jalur sekolah maupun jalur pendidikan
luar sekolah.
D.
PENDIDIKAN
DAN NILAI-NILAI BUDAYA
1. Nilai-nilai dan Kebudayaan
Nilai-nilai
budaya adalah nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat,
lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan,
kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang
dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan perilaku dan tanggapan atas apa
yang akan terjadi atau sedang terjadi.
Kebudayaan
adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi
sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam
kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Adapun nilai-nilai budaya yang berharga untuk
diperjuangkan adalah :
a. Nilai Kejujuran
b. Nilai Patriotisme
c. Nilai Persaingan
d. Nilai Harmonis dan Kerjasama
Secara Umum
Orang seringkali menemui kesulitan untuk melihat nilai-nilainya
secara objektif dikarenakan:
a.
Semasa
kanak-kanak mereka belajar nilai-nilai tersebut secara universal dan absolut
Nilai-nilai
tersebut tidak dapat dikompromikan sebab pada masa kanak-kanak tidak
mengerti bahwa sesuatu itu bagus kecuali kalau ia dibimbing untuk
mempercayai bahwa nilai-nilai tersebut bagus untuk semua orang dimanapun. Sebagai
contoh berdusta/berbohong, mungkin dianggap salah secara umum tetapi dibenarkan
pada kesempatan tertentu karena sebagian besar begitu sukar untuk dipahami
seorang anak.
b.
Nilai-nilai
tersebut sebagian besar telah diserap tanpa disadari dalam proses
enkulturasi. Nilai-nilai
itu telah memasuki kepribadian orang dewasa dan telah berperan besar dalam
membentuk kepribadian seseorang.
Nilai-nilai
yang disetujui oleh semua anggota sebuah kebudayaan cenderung berifat sangat
umum dan karena itu sukar untuk disadari secara penuh seperti contohnya pada
orang-orang amerika yang hampir semuanya setuju bahwa semua orang harus
memperoleh kesempatan yang sama untuk merealisasikan bakat-bakatnya, bahwa
semua orang harus mempunyai hak-hak dan kebebasan tertentu seperti kebebasan
beragama, dan persamaan dimuka hukum.
2. Tiga Isu Untuk Pendidikan
a. Kebudayaan Ideal dan kebudayaan Nyata
Kebudayaan
ideal adalah kebudayaan yang pantas disetujui oleh masyarakat dan dilestarikan
dan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang
terdapat dalam pikiran manusia sedangkan Kebudayaan Nyata adalah kebudayaan
yang terlihat dan aktual mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi
sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia.
·
Konflik
dalam kebudayaan
Tidak ada
satu kebudayaan yang terintegrasi secara penuh kebudayaan ideal pasti
akan bebeda dari praktek-prakteknya. Setiap kebudayaan mengesahkan bagi
anggota-anggotanya cita-cita tertentu dan norma-norma tertentu. Namun karena
sebuah kebudayaan telah mengesahkan norma-norma tertentu hal tersebut tidaklah
berarti bahwa norma-norma tersebut selalu dipenuhi dan kemudian satu
kebudayaan menekankan kepada anggota-anggotanya untuk memusatkan perhatian
kepada tujuan-tujuan dan makin kurang menekankan norma-norma untuk mencapainya,
dengan demikian kebudayaan diancam dis-organisasi sampai mungkin mencapai suatu
keadaan yang dinamakan Durkhen-anomi atau keadaan tanpa norma.
·
Konflik
dalam pendidikan
Konflik
yang terjadi dalam dunia pendidikan ini berpusat pada proses pembelajaran dalam
menyampaikan nilai-nilai kebudayaan dan tujuan anak-anak yang salah didik
terkhusus dalam lingkungan sekolah.
b.
Nilai-Nilai
Tradisional dan Nilai-Nilai Baru
Nilai-nilai
tradisional adalah nilai-nilai yang masih tidak dipengaruhi dengan perkembangan
IPTEK sedangkan nilai-nilai baru adalah nilai-nilai yang dipengaruhi
dengan perkembangan IPTEK
·
Konflik
dalam Kebudayaan
Konflik
yang terjadi adalah yaitu berpusat pada ketika kebudayaan itu berubah yang
menimbulkan pertentangan antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya
terhadap nilai-nilai tradisional dan nila-nilai baru
·
Konflik
dalam pendidikan
Konflik
yang terjadi berfokus pada kecenderungan guru-guru melakukan proses belajar
mengajar atau dalam mendidik masih menggunakan nilai-nilai tradisional
terkhusus pada guru-guru tua tidak sama dengan guru-guru muda.
c.
Nilai-nilai
Dominan dan Nilai-nilai Minoritas
Nilai-nilai
dominan adalah nilai yang dianggap lebih penting daripada nilai lainnya
sedangkan nilai-nilai minoritas adalah nilai yang secara umum tidak dianggap
penting daripada nilai-nilai lainnya atau nilai-nilai yang tidak dominan.
·
Konflik
dalam Kebudayaan
Secara umum
konflik dalam kebudayaan yang terjadi adalah berfokus pada budaya kelas
menengah, banyak orang dipisahkan dari kebudayaan tersebut oleh kemiskinan, ras
dan kekurangan pendidikan.
·
Konflik
dalam Pendidikan
Secara umum
konflik pendidikan yang terjadi adalah berfokus pada pada nilai-nilai kelas
menengah yang secara tidak langsung menekan anak-anak dalam proses pembelajaran
dan dalam berkomunikasi dengan orang lain.
d. Nilai-nilai Budaya dan Pemikiran Pendidikan
·
Aliran
Progresif
Pendidik
progresif mengemukakan bahwa karena semua hal dan semua masyarakat berubah dan
karena tidak ada sifat manusia yang kekal, semua nilai seyogyanya bersifat
sementara. Pendidik progresif mempercayai bahwa dalam sebuah masyarakat
demokrasi yang plural sekolah tidak dapat secara langsung mendiktekan
bagaimana bentuk hirarki nilai-nilai siswa-siswa seharusnya.
·
Aliran
Konservatif
Pandangan konservatif tentang niali-nilai mempunyai
dua bentuk yaitu perenialis dan essensialis. Kaum perenialis mempercayai suatu
hirarki nilai yang absolut, mempertahankan, bertentangan dengan praktek
sekarang adalah tugas sekolah untuk menanamkan nilai-nilai itu, kaum esensialis
menyebutkan bahwa meskipun sekolah tidak harus memberikan pendidikan moral
secara terbuka, namun demikian dalam memperkembang intelek sekolah menanamkan
nilai-nilai moral yang penting dari kejujuran intelektual dan berfikir
reflektif.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Shomad. 2009. Selayang Pandang tentang
Antropoplogi Pendidikan Islam. http://uin-suka.info/enjurnal/index2.php?option=com_content&do-pdf=1&id=88
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati. 2001. Ilmu Pendidikan.
Jakarta:Rineka Cipta.
Abu Ahmadi.1984. Pengantar Sosiologi.
Sala: Ramadhani.
Ary H Gunawan. 2006. Sosiologi Pendidikan
Suatu Analisis tentang Pelbagai Problem Pendididikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaerudin, dkk.1995. Materi Pokok
Pendidikan IPS 1. Jakarta: Universitas Terbuka.
Hasojo.1984. Pengantar Antropologi.
Bandung: Bina Cipta.
Koentjaraningrat.1986. Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta: Aksara Baru.
Lucky Zamzami. tt. Antropologi Pendidikan:
Suatu Pengantar.
Nasution. 2004. Sosiologi Pendidikan.
Jakarta: Bumi Aksara.
Ngalim Purwanto. 1995. Ilmu Pendidikan
Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Sanapiah Faisal dan Nur Yasik. tt. Sosiologi
Pendidikan. Surayaba: Usaha Nasional.
Soerjono Soekanto.1989. Sosiologi Suatu
Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Suwarno. 1992. Pengantar Umum Pendidikan.
Jakarta: Rineka Cipta.
UU Republik Indonesia SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003.
UU Republik Indonesia SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003.
*********
Semoga bermanfaat.
dosen pengampu: dakhandayani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar